Thursday, November 29, 2018

Salah Satu Profesi Terhebat dan Tersulit di Dunia



Tanggal 25 November adalah hari guru. Semakin dewasa, aku semakin banyak bertemu guru. Bagiku sih, siapa saja bisa menjadi guru karena aku percaya, dari setiap manusia ada pelajaran yang bisa diambil. Namun, kali ini aku ingin bicara tentang orang-orang yang memang menjadikan guru sebagai profesinya.

Jujur saja aku telah bertemu berbagai macam guru, dari yang membuatku kagum sampai yang saking buruknya sepertinya memang tak berniat jadi guru. Tapi aku ingin bicara yang golongan pertama saja.

Dari deretan guru yang kukagumi, ada James yang meski dengan muka datarnya selalu bisa membuat kelas jadi sangat menarik dan mengocok perut kami. Dia punya skill berbicara yang sangat bagus dan terstruktur. Ada guru-guru di tempat lesku yang semuanya tidak pernah membawa buku ketika mengajar di kelas karena mereka sudah bagaikan buku itu sendiri. Amat menguasai materi dan bisa menjawab dengan lengkap saat itu juga. Ada pula bu Erni yang selalu membawa kelas dengan santai dan menyenangkan. Dan banyaaakkk lagi sosok pengajar yang menginspirasiku yang jika kusebutkan satu-satu akan menghabiskan belasan halaman.

Mungkin mereka tak menyadarinya, mungkin orang dan murid lain tak menyadarinya, tapi bagiku, apa yang mereka lakukan ini sungguh hebat. Kadang sambil memperhatikan mereka membuatku berpikir, "Ya Allah, aku pengen bisa kayak gitu juga."

Akhirnya suatu hari, aku dan temanku menghampiri Jonathan, seorang konsultan yang kadang menjadi guru ketika diminta dan seorang yang kami sebut 'The walking encyclopedia' atau 'ensiklopedia berjalan'. Bisa dibilang kami berdua ketagihan meminta kelas tambahan dengannya dan diam-diam tergila-gila dengan otaknya. Entahlah, dia memang se-jenius itu.

Oke, jadi kami berdua menghampirinya dan aku bertanya,"Do you have any tips in teaching? Maybe some do's and don'ts." Aku sudah sangat siap mendengar jawaban panjang, namun apa yang dikatakannya begitu singkat namun menohok. "You have to be 10x above your students. At everything." Jleb.

Maksudnya, seorang guru harus 10x lebih menguasai materi dari muridnya dan belajar 10x lebih banyak dari orang yang diajarkannya. Hal ini kusadari begitu benar karena aku melihatnya pada diri semua guru terbaik yang pernah kutemui. Jadi mereka takkan pernah menjawab "nggak tau" ketika ditanya tentang materi yang dibawanya. Paling mentok-mentok hanya lupa sedikit. Namanya juga manusia.

Aku bisa langsung memahami kalimat yang disampaikan Jonathan tadi begitu dalam karena aku juga merasakan pengalaman terjun langsung mengajar. Dan sungguh, meski aku menyukainya, menjadi guru bukanlah hal mudah. Untuk menjadi guru yang baik, kamu harus menguasai materi 10x lebih banyak dari muridmu, merangkai kata-kata agar mudah dipahami, memahami psikologi orang, sekaligus berusaha membuat murid tetap fokus dan tertarik selama kelas berlangsung. Dan aku pernah setidaknya gagal dalam masing-masing hal yang barusan kusebutkan. Ternyata mengajar tidak segampang itu, ya.

Di Finlandia, penyeleksian guru tidak main-main. Standar seorang guru di sana yaitu harus meraih gelar master. Kemudian untuk masuk jurusan pendidikan sekolah dasar saja, hanya satu dari 10 pendaftar yang diterima setiap tahunnya. Sesudah itu pun mereka harus belajar dulu selama 5-6 tahun sebelum diizinkan mengajar secara profesional. Tak heran warganya pada terdidik dengan benar dan bahagia.

Kemudian aku berkaca diri dan jadi mengurangi jumlah kelas EbT karena merasa tak pantas dan terlalu banyak kurangnya. Aku takut terlanjur melakukan kesalahan dan malah membuat temanku jadi benci bahasa Inggris. Atau setidaknya, benci belajar denganku. Hal ini terlihat dari Febby yang selalu menguap di pembukaan EbT dan Maira yang jadi mendadak pendiam seperti sedang dihukum. Entah apakah aku jadi se-membosankan itu ketika mengajar, ataukah ini karma buruk? Apapun itu, berarti ada yang harus kuperbaiki. Aku juga sebenarnya bukan mengajar, aku lebih senang menyebutnya 'berbagi'. Berbagi ilmu.

Aku punya mimpi suatu saat nanti Indonesia punya lebih banyak guru yang berkualitas dan tak ada lagi murid-murid yang tak menghargai gurunya. Karena kunci pendidikan bangsa dimulai dari guru.

Wednesday, October 31, 2018

Gara-gara Homeschooling

Jumat lalu, saat pelajaran Ekonomi di tempat lesku, murid-murid disuruh maju satu persatu dan mengerjakan soal di papan tulis. Aku, anak homeschooling yang termasuk baru di situ dan belum pernah belajar pelajaran yang berbau akuntansi, juga disuruh maju. Bu guru tau tentang ini dan memilihkanku soal yang paling gampang. Sebelum maju, aku sih sudah mulai paham tentang cara mengerjakannya. Tapi ada beberapa hal yang masih aku bingung, termasuk menulis bentuk jawabannya.

"Ini tulis angka yang ini bu?" tanyaku sambil menunjuk ke kertas soal.

"Iya ya udah tulis bentuk AJP-nya dari catatan Rena yang kamu liat tadi," jawabnya. Astaga, apa pula itu AJP. Saat itu kepercayaan diriku mulai menurun dan intonasi bicara bu guru terdengar ada sedikit rasa kesal. Rasa-rasanya jika aku bertanya apa itu AJP, hanya akan membuatnya tepok jidat dan mempermalukan diriku sendiri di depan kelas. Pertanyaan itu pun kusimpan sendiri.

"Kaya gini bu?"

"Ih bukan, itu loh kan ada di catatan tadii, tulis dulu bebannya, baru kamu tulis jumlahnya di sampingnya."
"Oh, ng... Berarti bener dong... Eh.."
"Itu kan kamu cuma nulis pengeluaran, bukan beban pengeluaran!"
Oke. Detik itu membuatku sukses merasa seperti orang terbodoh sedunia. Bu guru lanjut menjelaskan  beberapa hal lagi ke aku, kemudian pandangannya beralih ke seisi kelas. Ia mulai berkata, "Anak-anak homeschooling tuh udah pasti lulus, dapet ijazah. Itu sih udah pasti. Tapi jangan tanya keilmuannya."

Jleb.


Setiap ia berbicara padaku, ekspresinya menggambarkan dengan jelas bahwa ia sedang berbicara dengan orang yang tak tau apa-apa. Ya walaupun memang benar, sih, aku saat itu masih nol dalam pelajaran Ekonomi. Kurasa seisi kelas yang hanya berisikan lima orang itu menangkap pancaran yang sama darinya.


"Ibu bukan maksud merendahkan ya," lanjutnya, seakan menjawab suara hatiku. "tapi emang gitu kenyataannya." Ok. Wow. Setengah hati ingin menyangkal dan memberontak, tapi sisa hati tau perkataan beliau ada benarnya. Aku pun berusaha untuk tenang dan menjernihkan pikiran, membiarkannya berbicara panjang lebar tentang apa yang ia tau tentang homeschooling.


Setidaknya, aku jadi tau bagaimana pandangan orang berbeda-beda tentang homeschooling. Dan dari semua itu, terkadang mereka tak sepenuhnya benar namun juga tak sepenuhnya salah. Bu guru bercerita bagaimana ia merasa kasihan terhadap para murid homeschooling karena mereka lebih banyak di rumah daripada berinteraksi dengan orang-orang. Bagaimana ia tak terlalu suka dengan cara belajar menggunakan website pelajaran dan gurunya hanya sebatas video. Bagaimana ia menganggap bahwa yang wajar homeschooling itu para artis karena mereka sibuk.


Dari apa yang keluar dari mulutnya, tampaknya belum begitu banyak citra baik homeschooling. Meskipun apa yang dikatakannya tak sepenuhnya salah, ya. Namun izinkan aku bersuara mengenai homeschooling dari sudut pandangku. Aku paham saat bu guru bilang bahwa ia merasa kasihan pada anak-anak homeschooling karena banyak dari mereka yang terlalu banyak di rumah daripada berinteraksi dengan orang dan tak bisa belajar dengan cara bertatap muka dengan guru secara langsung. Dalam hal ini, jujur saja aku tak menyangkal karena aku pun juga sempat merasakannya.


Jujur saja, awal masuk homeschooling, aku sama sekali tidak punya teman ataupun tujuan. Waktu luangku terlampau banyak, tapi karena dilakukan untuk hal-hal yang tak terlalu jelas, lama-lama aku merana juga. Kosong. Membosankan dan tidak enak. Saat itu, setiap bangun tidur yang kurasakan adalah hampa karena aku tau sampai waktu tidur lagi tiba nanti malam, aku hanya akan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti internetan sepanjang hari.


Hal ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya aku menciptakan tujuan. Dalam hal ini, apa yang dikatakan bu guru tadi betul. Bahwa anak homeschooling jadi terkesan 'kasihan'. Namun apa yang membuat perkataan itu terasa benar? Kurasa, jawabannya adalah, kehidupan anak-anak homeschooling baru akan terasa menyedihkan jika mereka tak memiliki tujuan yang jelas. Karena saat kita tak memiliki tujuan, biasanya kita hanya akan melakukan hal yang sebatas 'mengusir kebosanan' saja, bukan? Kita tak memikirkan hal yang sedang kita lakukan ini bakal membentuk kita jadi pribadi seperti apa esok lusa. Alhasil, kita jadi hanya melakukan hal jangka pendek, dan jika ini terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama, bisa berdampak buruk dan hidup kita akan seterusnya begitu-begitu saja entah sampai kapan. Inilah yang banyak terjadi pada anak-anak homeschooling yang bu guru bilang 'kasihan'. Tapi bukankah hal ini berlaku bukan cuma untuk anak homeschooling saja, tapi juga seluruh umat manusia?



Kalau menanggapi si ibu guru sih, aku hanya ingin memperjelas, bahwa sebenarnya, homeschooling bisa menjadi sangat beragam. Semua tergantung pada orangtua yang berperan sebagai kepala sekolah, dan yang terpenting, tergantung apa yang ingin si anak cari. Contohnya, Andri Rizki Putra, dulunya adalah anak yang putus sekolah, namun ia tak pernah putus belajar. Kini, ia kuliah di Amerika dan telah membangun YPAB (Yayasan Pemimpin Anak Bangsa), yaitu rumah belajar gratis yang menekankan kejujuran.

Tapi di sisi lain, tak sedikit pula anak-anak homeschooling yang belum memiliki tujuan yang pasti, sehingga waktu berlimpah yang mereka punya dipakai untuk mencari kesenangan sesaat saja. Belum lagi sekarang adalah zamannya elektronik, jadi sangat mungkin untuk seorang anak mengurung diri di kamar sambil bermain game atau internetan sepanjang hari (seperti aku dulu, uhuk). Lagi-lagi, bagus atau tidaknya kualitas homeschooling tergantung pada apa yang dilakukan si anak (menurutku).

Homeschooling bisa membantu seseorang terbang jauh lebih cepat merealisasikan mimpi-mimpinya, atau membuat yang tak punya tujuan semakin terpuruk. Karena saking bebasnya, satu-satunya yang harus dilawan seorang homeschooler adalah dirinya sendiri. Dan itu yang tersulit. Namun sekalinya berhasil, ia pasti juga tak akan menyangka dengan potensi diri yang dimiliki. Pasti bakal ngerasa, "Astaga, ternyata gue bisa ngelakuin hal sehebat ini."

Berdasarkan pengalaman dan analisisku (eaa), kehidupan seseorang baru akan terasa kosong dan menyedihkan jika ia TAK PUNYA TUJUAN dan hanya melakukan aktivitas yang kurang BERMAKNA. Sebaliknya, jika seseorang PUNYA TARGET tentunya ia akan melakukan hal apa saja agar targetnya tercapai. Dan ketika berhasil, ia akan merasakan nikmatnya sebuah pencapaian dan ini akan menjadi bensin untuk mengantarkannya ke pencapaian selanjutnya. Dan hal ini, bisa dibilang, dapat membuat hidup seseorang terasa BERMAKNA.

Bagiku pribadi, homeschooling telah memberikan banyak kesempatan dan pelajaran berharga yang belum pernah kudapat di sekolah biasa.
Gara-gara homeschooling, aku jadi lebih banyak berkontemplasi dan punya waktu untuk menggali diriku sendiri. Aku jadi banyak belajar tentang makna hidup dan tentang pendidikan sebenarnya. Gara-gara homeschooling, aku bisa lebih menyaring orang-orang mana saja yang kuingin dan tak kuingin ada di sekitarku. 
Gara-gara homeschooling, aku akhirnya bisa menemukan makna dari apa saja yang kulakukan, dan bisa memilih untuk tidak melakukan hal yang kurasa tak begitu penting untukku.
Aku jadi bisa punya kendali lebih atas hidupku dan menentukan hal-hal apa saja yang patut dijadikan prioritas.
Gara-gara homeschooling, aku bisa menikmati tempat-tempat yang aku mau saat orang lain ada jadwal sekolah atau kerja, hehe. Aku bebas mengendalikan kebebasanku. Aku juga akhirnya telah menemukan cara belajarku sendiri.
Dan yang terpenting, gara-gara homeschooling, aku telah menemukan alasan-alasanku untuk tetap belajar sampai mati, meski disuruh atau tidak.
Kau boleh berbeda pendapat, tapi gara-gara homeschooling, aku menemukan kebahagiaan sejati.
Ini di luar ekspektasiku, tapi aku, yang dulu sempat merasa malu jadi anak homeschooling, kini justru menemukan makna hidup lewatnya. Sesuatu yang selama ini kucari.

Bagiku, homeschooling memberi para pelajarnya ruang bernapas untuk merayakan perbedaan dan keunikan masing-masing. Sesuatu yang tak bisa kutemukan saat duduk di sekolah formal. Sebenarnya homeschooling dan sekolah formal memiliki keuntungan dan kekurangan masing-masing. Jadi mau kamu homeschooler atau sekolah formal, seorang pelajar atau pengangguran, manusia atau bukan, pesan yang mau kusampaikan sih satu: Temukan tujuanmu hidup di dunia ini. Dah gitu aja, dadah! Semoga berhasil!

Wednesday, October 24, 2018

Bumi, Maafkan Kami

Sumber: clker.com
Ini tahun 2018.
Berbagai bencana kian terjun bebas.
Entah karena hari akhir semakin dekat,
Atau marahnya Tuhan pada yang berbuat jahat.
Yang kutau pasti, bumi semakin tua.

Bumi, maafkan kami yang tak pandai merawatmu.
Kau adalah sumber dari apa-apa yang kami butuhkan.
Kau beri kami air, makanan, dan sumber segala yang sehat.
Kau selalu menyuguhkan yang terbaik.
Lantas apa balasan kami?
Dengan merusak, mengotori, dan meracunimu.

Kami tebang seluruh kayu megahmu hingga yang tinggal di sana tak lagi punya rumah.
Kami penuhi lautmu dengan sesaknya benda-benda ciptaan kami, hingga yang di dalamnya mati sakit menelan semua itu.
Kami renggut semua yang tumbuh dari tanahmu, dan nyawa-nyawa yang bersemayam di atasnya.

Bumiku, maafkan kami, para predator terganas yang pernah ada.
Meski rasa-rasanya mustahil untuk bisa memaafkan perbuatan biadab yang kami buat.
Bumiku, jika kau marah, beri dulu kami tanda-tanda,
dan kirimkan yang tak selamat agar sampai ke surga. 

Thursday, October 18, 2018

A Magical Light

Sumber: tumblr.com

Ini!
Kukirimkan segenggam cahaya
bagi yang kerap lelah karena harus memakai topeng 'baik-baik saja'
Yang sudah menenggak air keras bermerek Hidup
Yang dianggap 'terlalu aneh' untuk bisa menyatu dengan yang lain
Yang tengah disapa bencana alam
maupun bencana perasaan
Yang lupa kapan terakhir kali merasakan damai
Yang baru saja disambut kehilangan
Yang sedang ditusuk sepi
—dan yang menikmatinya
Yang sedang berperang dengan waktu,
hidup,
atau
diri sendiri

Thursday, October 11, 2018

Mati di Rumah Sendiri

Sumber: www.nrdc.org

Kami makhluk perairan yang perlahan kalian singkirkan.
Rumah kami tak lagi ramah, sumpah!
Kini hanyalah ruangnya sampah
yang tiap detik semakin melimpah.

Warna laut kini telah larut.
Sang biru mulai berganti warna baru,
warna keruh yang melahap dengan kecepatan penuh.

Bagi kami, lautan adalah satu-satunya rumah
sekaligus tempat menjelajah
namun malah kalau jajah.
Satu-satunya tempat berlabuh,
namun yang ada, kami malah terbunuh.

Tempat kami dulu merasa bebas kini berubah ganas.
Kehidupan yang pernah teduh kalian buat gaduh.
Hei, biarlah kami hidup tenang.
Mengapa selalu kau ajak perang?

Wednesday, October 03, 2018

Bali

foto oleh: aku

Pulau dewata,
aku ingin menjadi sebijak air-airmu,
setenteram pagi-pagimu,
sebebas angin-anginmu

Aku ingin membenamkan diri ke seluruh ajaibmu
Tinggal sebentar di sana, mungkin
Lalu keluar dengan rasa ringan,
melunturkan para beban
yang memang pantas dihanyutkan

Tampaknya, susah untuk merasa bosan disuguhimu tiap hari
Langit yang ahli berdansa dengan gradasi,
gulungan ombak merdu nan apik,
pasir yang lembutnya mewakili kamu

Dosis sesederhana ini sebabkan aku lupa
apa yang kurang dari hidup
Jika memang begitu, tolong
ingatkan aku
agar selalu lupa




Thursday, September 20, 2018

Satu Minggu yang Amat, Sangat Baik



Buku telah menjadi sahabatku sejak dulu. Mereka seperti semesta-semesta dalam genggaman yang sekali diselami akan membawaku pergi amat, sangat jauh dan merasakan hal yang amat, sangat gila. Aku tidak pernah merasa kesepian bersama buku (apa lagi jika itu buku tulis atau novel-novel favoritku). Mereka bisa menjadi tempat pelarian, kawan hidup, sekaligus guru. Dapat pula membuatku marah, menangis, tertawa keras, bahagia, dan lupa waktu. Namun ada satu kata tepat yang menggambarkan rasaku terhadap buku: candu.


Sudah lama rasa ini hilang. Entah karena aku merasa kehabisan bahan bacaan atau belum ada yang menyulutku. Obsesiku terhadap buku baru bangkit kembali sejak minggu lalu. Satu minggu yang berhasil mengobarkan kembali api cintaku pada buku. Satu minggu yang amat, sangat baik.

Pada tanggal 10-11 September lalu, aku berkesempatan mengikuti acara Litbeat Festival, yaitu sebuah acara yang berisi beragam talkshow, seminar, dan panel discussion, dengan menghadirkan 59 narasumber dari seluruh dunia. Acara tersebut diadakan di Perpustakaan Nasional.

Aku dan kenalan-kenalanku dari Komunitas Supernova menghadiri acara tersebut. Bisa mengenal orang-orang yang juga mencintai dunia buku dan bisa diajak ke acara-acara seperti ini merupakan kebahagiaan tersendiri buatku, he he he. Kami juga bisa memilih kelas mana saja yang mau diikuti.



Pada hari pertama, aku mengikuti kelas panel discussion bertema Menyajikan Buku Terbaik Untuk Sekolah dan Desa. Di kelas ini dijelaskan tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelayanan desa-desa di Indonesia, terutama dalam membangun minat baca dengan menyediakan fasilitas yang memadai. Aku juga jadi tahu bahwa waktu membaca per minggu rata-rata orang di India adalah 10 jam 42 menit, sementara di Indonesia, tebak berapa? Hanya enam menit! Yap, aku ulangi, setiap minggu rata-rata orang Indonesia membaca cuma enam menit! Anggaplah sehari libur membaca, sisanya satu hari cuma membaca satu menit! Wow, lebih lama nunggu Gojek, bos!

Fakta ini begitu miris, padahal bangsa yang cerdas adalah bangsa yang melek literasi. Jadi nggak heran kalau banyak warganet Indonesia udah ngamuk-ngamuk duluan kalo baca sepintas judul berita, padahal baca isinya sampai habis aja belum. He he.


Kelas selanjutnya yang aku ikuti berjudul Kiat dan Siasat dalam Self Marketing oleh Ika Natassa, penulis yang namanya sudah tak asing lagi. Ia berbagi cerita tentang mempromosikan karyanya lewat media sosial. Baginya, media sosial tak seharusnya dipandang sebagai penyebab manusia zaman now meninggalkan buku. Sebaliknya, kak Ika memandangnya sebagai alat pendukung dan pelengkap untuk mempromosikan karyanya pada audiens yang lebih luas.


Berkat kelihaiannya dalam memanfaatkan sosmed, ia diajak berkolaborasi dengan Twitter untuk melakukan polling yang kemudian hasil polling tersebut dijadikan data untuk bukunya yang berjudul The Architecture of Love. Tak hanya itu, kak Ika juga dapat tiket PP gratis ke New York, salah satu setting yang ada di bukunya yang menjadi tempat impiannya! Aku membawa pulang segudang ilmu, cerita, dan kebahagiaan dari kelas kak Ika Natassa.


Hari kedua juga tak kalah seru. Keesokannya, pada tanggal 11, aku mengikuti kelas Ilustrasi Sebagai Cara Bertutur Baru yang mengundang Lala Bohang dan Dinda Puspitasari, From Page to Platform oleh Tatsuki Hirayanagi, dan Judul Keren dan Sinopsis Menawan yang diisi oleh Djoko Lelono! Ah, bahagiaaa sekali bisa mengetahui isi pikiran dari orang-orang hebat ini dan mencuri ilmu mereka.


Ada satu kejutan tak terduga di hari kedua ini. Ternyata, Dee Lestari panutanku juga menjadi peserta di salah satu kelas hari itu! Aku dibocorkan tentang berita ini oleh kak Ditta, seorang teman dekatnya yang kebetulan adalah kenalanku juga. Mendengar itu, aku langsung membawa dua buku untuk meminta tanda tangan! Dan...




Berhasil! Temanku tak sengaja melihatnya hendak naik eskalator turun. "Eh iya, itu dia!" Aku langsung kegirangan dan mengejarnya. Temanku itu ketinggalan dan rempong membawa barang bawaanku yang sengaja kutinggal demi mengejar mbak Dee. He he, maap ya kak Deby. Berdua di eskalator, aku menanyakan mbak Dee beberapa pertanyaan yang sudah kutulis di telapak tangan agar tidak lupa karena aku tahu bakal gugup. Dan benar, berbicara kepadanya membuat kakiku mendadak menjadi spaghetti.


Sesi penutupan pun tiba. Penghujung acara inilah yang paling kutunggu-tunggu karena bintang tamunya adalah Joko Pinurbo dan Oppie Andaresta! Jokpin merupakan penyair yang puisi-puisinya sudah tersebar luas di Indonesia. Salah satu bukunya yang kupunya berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Sementara kak Oppie adalah seorang musisi yang namanya pernah disebut sebagai penyanyi terbaik no. 1 di Rolling Stones Indonesia.


Di upacara penutupan ini, kak Oppie mengaransemen beberapa puisi Jokpin menjadi lagu. Ia menyanyikannya sambil memainkan gitar kecil dengan sangat indah. Bahkan Jokpin, pencipta puisinya sendiri pun, sampai mengatakan ia tidak pernah membayangkan puisinya jadi bisa terdengar sebagus itu, hahaha. Beliau juga menjawab setiap pertanyaan dengan cerdas, jujur, kocak, namun apa adanya. Hal ini membuatku tambah menyukainya berkali lipat. Dengan Jokpin dan Oppie Andaresta di akhir acara, hari ditutup dengan amat sempurna, dan senyumku masih membentang di atas motor Gojek menuju rumah.




Hari itu, kak Ditta mengabarkan kepada kami kalau MakSur alias mbak Dee Lestari akan menerima penghargaan di IIBF (Indonesia International Book Fair) besoknya. Setelah dua hari yang tak terlupakan di acara Litbeat Festival, tampaknya hidup masih mau memberikan hadiah kecil untukku. Tanggal 12, paginya aku langsung meluncur ke acara IIBF dan menyaksikan MakSur menerima penghargaan novelnya, Aroma Karsa, yang menang kategori Book of The Year. Aku bersorak paling keras di sana. Dengan bangga.


Hari itu di IIBF, aku bersama dua kenalanku menghabiskan waktu di Zona Kalap (zona yang punya diskon 50%-80%) dan makan siang sambil berbincang. Hari itu juga, aku memborong sembilan buku. Aslinya 11 sih, karena dua lagi kubelikan untuk adikku Hafidz. Sembilan untukku semua. He he.


Setelah hari itu, aku berjanji untuk tidak membeli buku lagi setelah mendengar dompetku mulai menangis. Ya gimana, mau nggak mau harus hemat, lah! Tanggal 12 itu, ketika aku memilih-milih buku juga sebenarnya ada beberapa buku yang harus terpaksa kubalikkan ke tempatnya karena sudah melebihi budget. Selamat tinggal, chayank~


Besok lusa, tanggal 14, aku meluncur lagi ke IIBF. Kali ini bukan untuk membeli buku, kan aku sudah janji (ya walaupun kegoda-goda sedikit). Tapi untuk menghadiri talkshow Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie, penulis asal Indonesia yang karyanya sangat unik, seperti namanya. Iya, asal Indonesia. Gak nyangka kan? Haha sama, awalnya aku juga nggak tahu karena terkecoh namanya. Malah Ranu dan Anjar mengira dia orang Russia saat aku menyebut namanya. Hahaaa ketipu juga kalian.



Pada hari terakhir IIBF, tanggal 16, tebak aku ngapain? Yak, ke sana lagi, hehe. Awalnya aku ingin pergi sendiri diantar keluarga, kemudian keluargaku mau pergi ke mal. Tapi akhirnya jadi kami sekeluarga ke IIBF dan keluarga tidak jadi ke mal, soalnya aku berhasil membujuk mereka. Aku jadi senang karena keluarga jadi ikutan beli buku. Alhamdulillah, virus tersebar.


Saat itu, aku masih belum membeli buku lagi agar dompetku tidak menangis tambah kencang. Namun setelah salat maghrib dan isya, entah keajaiban salat atau rezeki anak solehah, atau gabungan keduanya, kata-kata ajaib keluar dari mulut papa.


"Erika kalau masih mau beli buku boleh, gak ada batasan harga." Wow. WOw. WOWWWWW, oke, atur nafas. TAPI GAK BISA! Aku langsung lompat dari tempat duduk.

"Serius pa???" Tanyaku basa-basi padahal sebenarnya udah kedengeran jelas.
"Iya," jawab papa.

Hafidz yang awalnya nggak begitu antusias dengan buku ikut kegirangan melihat kakaknya girang. Kami berdua langsung bergandengan dan lari macam lomba marathon, berusaha sesegera mungkin melahap buku-buku yang kami mau sebelum tutup. Aku berjumpa lagi dengan buku-buku yang awalnya kukembalikan. Halo lagi, chayank~


Aku tidak tahu kebaikan apa yang telah kulakukan hingga mendapat anugerah bertubi-tubi seperti ini. Dapat menghadiri acara literasi selama dua hari yang isinya orang hebat semua, ketemu banyak penulis kesukaanku, sampai dikasih kesempatan memborong buku tak terbatas! Ya Allah, terima kasih yang sangat banyak. Aku bahagia pake banget. Kuharap kalian juga dapat kesempatan serupa atau bahkan lebih baik dengan apa yang kalian suka.


Kalau kamu punya mimpi, simpan saja di hati, sambil berusaha mendapatkannya. Semesta mendengarkan, dan akan mewujudkannya di waktu yang tepat. Percayalah, aku sudah merasakannya.


Thursday, September 06, 2018

Nadin


Ikalmu adalah pusaran waktu,
menyimpan keajaiban di setiap lingkarnya
yang tak pernah ingin kuselesai jelajahi
meski 70 tahun lagi

Terkadang aku keliru, apakah itu hati atau slime?
Peluru yang telah meledakkannya tanpa aba-aba
Terjun bebas yang entah keberapa kali
Dirusak bagaimanapun, tampaknya ia tahu
cara menyatu kembali
tanpa menjadi keras
tanpa menjadi beku

Bulan yang satu ini jujur
Setidaknya pada insannya sendiri
Bulan kali ini semakin diasah bijak
Ia tahu kapan saatnya menjadi sabit, purnama,
atau gerhana
atau sepenuhnya menyatu di balik awan

Aku pernah punya hari amat baik
Hari di mana akhirnya aku bertemu si pemilik hati slime
Tapi tak lama, aku terbangun dari hari itu
Ah, lagi-lagi

Namun tak mengapa
Sisa hari nyataku tetap terasa lebih baik
karena aku tahu telah dihibur alam mimpi
yang telah menghadirkan ledakkan cahaya lembut:
Kamu

Wednesday, August 29, 2018

OTAK, OH OTAK (1)


Entahlah.
Bagiku, pikiran manusia bisa menjadi lokasi paling mengerikan di dunia.
Tempatnya realita terkadang berubah berkali lipat lebih buruk.
Akar dari prasangka dan ego.

Sumber dari penyakit, kejahatan, dan apa-apa yang merugikan.
Di mana yang sebenarnya simpel dapat menjelma menjadi rumit,
yang biasa jadi merana,
yang seharusnya selesai jadi tak usai-usai.

Seringkali, aku takut pada milikku sendiri.
Pada ekspektasi yang rupanya hanya membebani.
Pada skenario yang kucipta namun tak pernah jadi nyata.
Pada angan-angan berlebihan yang berujung membutakan. Ah, sialan.

Menjinakkan hal liar di balik tengkorak ini butuh waktu.
Juga penempaan yang memaksaku untuk melepaskan.
Agar aku tak bergantung pada yang fana, agar tak kunjung gila.

Thursday, August 23, 2018

Perahu & Sepeda


Kau dan aku tinggal di dunia yang tak sama.
Bagai minyak dan air, atau perahu dan sepeda.
Hampir mustahil untuk menyatu. Takkan bisa melaju jika bertukar pijakan.

Menjadi diri sendiri adalah asing, saling memahami hanyalah ilusi.
Sesalah mencolok charger ponsel pada laptop, rasanya takkan pernah cocok meski dicoba ribuan kali.

Namun, tak mengapa.
Mungkin kita dirancang berbeda, agar bisa berdamai dengan perbedaan.
Kau pakai caramu, aku dengan caraku.
Biarlah perahu menjadi perahu tanpa perlu dipaksa menjadi sepeda.

Setidaknya, ada satu hal sama yang perahu dan sepeda miliki: sama-sama berjalan ke depan.

Wednesday, August 01, 2018

Sapien


Spesies ini merupakan yang paling cerdas (katanya) bin rumit.
Diketahui paling inovatif menciptakan alat yang akan membinasakan kaumnya sendiri.
Merasa paling berkuasa hingga merenggut hak spesies lain dianggap biasa.

Mereka terbuat dari serpihan kesombongan dan ego.
Yang ambisius berlomba memiliki, yang bijak berlatih melepaskan.

Spesies ini dikenal spesies lain sebagai ancaman paling berbahaya.
Merisaukan spesies plantae karena pemusnahannya terhadap kaum mereka mustahil berhenti.
Meresahkan spesies animalia hanya untuk 'hiburan' semata.

Wednesday, July 25, 2018

Obat Untuk Yang Tak Berwujud



sumber: http://deviantart.com/


Sebagai seseorang yang dari kecil sadar bahwa aku telah merasakan banyak hal, ‘emosi’ dan ‘kesehatan mental’ menjadi salah satu hal yang menarik perhatianku. Akhir-akhir ini, aku sedang ketagihan mempelajari tentang self-healing atau cara menyembuhkan diri sendiri.

Pertama kali aku tahu istilah self-healing yaitu lewat channel YouTube Reza Gunawan, seorang praktisi kesehatan. Sekitar seminggu yang lalu ia mulai mengunggah video-video tentang kesehatan mental dan self-healing di IG TV miliknya, @rezagunawan. Akhirnyaaa! Sesuatu yang kutunggu-tunggu akhirnya terjadi juga. Aku tahu tentang Mas Reza karena ia adalah suami Dee Lestari, penulis favoritku. He he he. Bagiku, merekalah definisi relationship goals karena hubungan yang mereka miliki merupakan hubungan yang sehat, jujur, dan realistis. Ah, sebuah hal yang langka ditemukan.

Oke balik ke topik. Satu hal yang kusadari, kesehatan mental merupakan hal yang amat krusial, namun belum banyak orang yang menyadarinya. Terlebih di Indonesia. Di sini, tak jarang jika seseorang menampakkan emosinya yang kurang baik bakal dikatakan baper, kurang bersyukur, dan sebagainya. Namun kabar baiknya, makin ke sini aku semakin melihat bahwa tambah banyak orang mulai sadar betapa pentingnya peran kesehatan psikis dan mulai berani membicarakannya kepada audiens yang lebih luas.

Di bawah ini merupakan poin-poin penting yang kudapat setelah menyimak video-video di IG TV Mas Reza.


1. Emosi bagai cuaca; tak bisa diprediksi


Sama seperti cuaca, kita tak bisa tahu pasti kapan emosi tertentu akan datang. Yang kita mesti tahu pasti, mereka sama-sama selalu berubah. Tak pernah kekal. Kita tak perlu takut dengan emosi, sama seperti kita tak perlu takut akan cuaca mendung atau hujan. Salah satu metode yang salah namun sudah umum yaitu ‘kendalikan emosi’.

Emm... Tapi sebenarnya, kawan, emosi merupakan hal natural yang tidak bisa dikendalikan. Jika kita bisa mengendalikan emosi, tentu seluruh manusia akan merasa baik-baik saja. Namun meskipun emosi tak dapat dikendalikan, tapi perkataan dan perbuatan bisa kita kendalikan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama. Yang perlu kita pahami bahwa emosi adalah cuaca jiwa; ia akan datang dan pergi.


2. Positive thinking bisa berdampak negatif


Terdengar seperti paradoks, ya? Lucu memang. Ini merupakan salah satu hal salah kaprah yang sangat umum. Seringkali kita mendengar orang-orang memberi saran seperti, “Cobalah berpikir positif,” ketika ada orang yang sedang sedih atau mengalami emosi negatif lainnya. Bahkan mungkin kita juga pernah mencoba berpikir positif ketika suasana hati sedang tidak nyaman. Niat seperti itu baik, tentu. Tapi apakah cara ini efektif dipakai ketika batin kita sedang terpuruk? Kurasa tidak.

Berdasarkan pengalamanku, berpikir positif memang membantu menekan emosi negatif untuk jangka pendek. Ya, untuk jangka pendek. Namun itu dia, ia hanya menekan emosi tersebut kembali ke dalam diri. Efek jangka panjangnya, mencoba berpikir positif bisa membuat batin semakin terpuruk jika dilakukan dalam kondisi diri sedang tidak baik. Kalau kata Mas Reza, ketika jiwa kita sedang mengalami emosi negatif, emosi tersebut harus dinetralkan dahulu, baru bisa lebih lancar jika ingin berpikir positif. Bukankah memaksa cuaca untuk terang saat sedang hujan merupakan hal yang melelahkan dan sia-sia?

Sedikit curhat, sekitar setahun lalu, aku selalu mencoba untuk berpikir positif setiap kali ada hal yang membuatku merasa tidak nyaman. Namun melakukan ini selalu terasa seperti terus-terusan menangkis dan menolak merasakan emosi tersebut. Lama-kelamaan, tak henti-hentinya menangkis membuat batinku terasa lelah. Sampai suatu ketika, aku memutuskan untuk berhenti menangkis. Capek, cuy. Akhirnya kutatap mata si emosi negatif ini dan membiarkannya menghantamku sampai ia lelah dan pergi sendiri.

Hasil dari melakukan hal ini lumayan mengejutkanku. Sama seperti yang dikatakan Mas Reza, emosi negatif ibarat pengamen yang suaranya gak enak didengar tapi ngotot mau tampil di panggung. Jadi dari pada tambah ngamuk, kasih aja panggung kecil, biarkan tampil di situ. Nanti kalau udah capek nyanyi juga turun sendiri.

Begitu kira-kira gambaran emosi negatif. Ternyata, seperti yang telah kualami, mempersilakannya masuk membuatnya jauh lebih cepat surut. Namun yang perlu diingat, membiarkan diri untuk merasakan emosi negatif bukan berarti sepenuhnya pasrah dan memilih berlarut-larut dalam kenegatifan tersebut. Kitalah yang mengambil jalan untuk mengobati luka batin itu agar posisi jiwa kita kembali netral. Setelah itu, barulah akan jauh lebih mudah dan efektif untuk berpikir positif.


3. KRAI (Kenali, Rasakan, Akui, Izinkan)


Menurutku ini merupakan jurus jitu mengatasi emosi negatif yang Mas Reza sebut KRAI (Kenali, Rasakan, Akui, Izinkan). Tahap pertama yang harus dilakukan: Kenali. Ketika kita tahu ada emosi negatif yang sedang datang, kenali dulu jenis emosi tersebut. Apakah itu rasa takut? Kecewa? Cemburu? Sedih? Kita harus tahu persis nama emosi apa yang sedang bertamu.

Jika sudah kenalan dengan emosi tersebut, selanjutnya: Rasakan. Coba perhatikan rasa apa yang timbul dari emosi tersebut. Apakah membuat hati terasa tersayat, ingin meledak, atau membuat kepala pusing? Apa emosi tersebut membuatmu merasa tenggelam, hancur berkeping-keping, atau membuat dada sesak? Identifikasi rasa tersebut sedetail mungkin.

Langkah selanjutnya Akui. Kalau kita akui bahwa kita sedang takut, gundah, atau semacamnya, secara sosial ini dianggap sebagai kelemahan. Namun jika kita akui pada diri sendiri, seperti, “Oh, saat ini aku benar-benar marah,” atau “Oke, aku sedang merasa kecewa,” ombak perasaan itu akan naik, berputar-putar dalam diri kita, kemudian menjadi netral dengan sendirinya. 

Tahap yang paling penting, Izinkan. Izinkan dirimu untuk merasakan rasa apa saja yang datang. Tak usah dilebih-lebihkan, tak usah disangkal. Cukup menerima. Dan ketika episode emosi itu sudah selesai, jiwamu akan lebih mudah untuk balik merasa netral seperti terlahir kembali. Damai. Sekali lagi berhasil melewati badai. 

Thursday, July 12, 2018

Jangan Berhenti Mengayuh

https://www.tumblr.com/


Untuk para remaja yang tengah mencari kepingan diri mereka di tiap manusia
Untuk para remaja yang menyimpan kebingungan dari menggali jawaban
Untuk para remaja yang jarang redup saking sibuknya menikmati hidup
Untuk para remaja pemberontak namun juga mudah terseret ombak
Untuk para remaja yang tak pernah lepas dari dunianya sendiri
Untuk para remaja perasa yang berharap sesekali mati rasa
Untuk para remaja pemikir yang angannya selalu banjir
Untuk para remaja goyah yang masih dilapah gundah
Untuk para remaja melankolis sekaligus dramatis
Untuk para remaja penyimpan selaksa rahasia
Untuk para remaja yang tak pernah acuh
Untuk para remaja korban sakit cinta
Untuk para remaja tahan banting
Untuk para remaja pemimpi
Untuk para remaja
Untuk aku

Thursday, July 05, 2018

ASIMETRIS

Tempat tinggalku dikenal sebagai negeri agraris, beriklim tropis.
Ah, surga bagi para turis.
Terdiri dari ribuan pulau dan jutaan remaja galau.
Rumahnya kain batik sekaligus para pemudik. 

Kami punya pegunungan menjulang, serta koruptor yang meradang.
Rempah-rempah kami melimpah, begitu juga dengan sampah.
Di sini, banyak orang terpelajar, namun lebih ramai lagi yang menahan lapar.

Kami punya laut, yang birunya semakin larut.
Bertahap beralih ke warna gelap karena ulah mereka yang tak bertanggung jawab.
Kami punya generasi muda yang bisa mengubah Indonesia.
Entah menjadi makin maju karena ide-ide baru, atau kian terpuruk akibat niatan buruk.

Orang-orang kami bahagia, orang-orang kami sengsara.
Punya tanah air kaya warna, dari putih bercahaya hingga merah membara.

Wednesday, June 06, 2018

Cinta Tak Punya Mata

sumber: https://www.crossconnectmag.com/post/56715930251

Mungkin ia disebut 'jatuh cinta'
Karena mereka yang tengah cinta
Pasti akan jatuh
Dan seketika berubah rapuh

Kurasa orang menyebutnya 'mabuk asmara'
Karena mereka yang merasakannya
Dapat hilang kendali tanpa sadar
Menjadikan logikanya pudar

Jelas saja ada sebutan 'rindu setengah mati'
Ketika perasaan rindu tiba,
Batin seakan setengah merana, setengah mati
Mengetahui yang di sana, sedang jauh dari sini

Tak heran ada frase 'dibutakan oleh cinta'
Atau 'dunia serasa milik berdua'
Tak lupa kata-kata 'gunung kan kudaki'
Juga 'laut pun kan kuseberangi'

Ketika orang sedang 'cinta',
Hal mustahil pun mendadak mudah dilewati
Apakah mereka cinta pada orangnya,
Atau hanya pada perasaan itu sendiri?

Orang bilang, cinta itu indah
Tapi mereka tak pernah bilang
Bahwa ia sepaket dengan rasa gundah

Kata orang, cinta itu sumber kekuatan
Tapi jarang sekali yang mengatakan
Bahwa ia juga bisa menjadi sumber kesakitan

Cinta itu menyembuhkan, ujar mereka
Tapi terkadang kita lupa
Bahwa terlalu banyak dapat beralih jadi racun berbahaya

Entah cinta merupakan anugerah atau kutukan
Bagiku, ia gabungan dari keduanya.

Wednesday, May 30, 2018

Kubangan Pertanyaan

sumber: Favim.com


Kepada siapa air harus kembali?
Pada dekapan laut tempatnya berpulang,
Atau pada awan yang menjadikannya bebas?

Siapa yang lebih butuh kasih sayang matahari?
Manusia yang menggigil karena cinta,
Atau mereka yang telah dibekukan oleh rasa yang fana?

Siapa yang sebaiknya angin ajak bicara?
Insan yang tengah menikam hati sendiri,
Atau mereka yang dipekakkan oleh rasa sepi?

Siapa yang merengek untuk diselimuti malam?
Orang yang terbutakan oleh surya hasrat semu,
Atau mereka yang lelah terpapar teriknya rindu?


Thursday, May 03, 2018

53 Potongan

/Leyro/


Sebagai laki-laki dewasa, belum pernah tangisanku terasa sepilu ini. Rumah duka semakin ramai didatangi para manusia berpakaian gelap. Orang-orang bergantian memelukku sambil melayarkan kalimat belasungkawa, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semoga saja yang mereka katakan menjadi nyata, karena saat ini goresan batinku terlalu besar untuk bisa pulih kembali.

Kutatap foto pria yang mirip denganku itu untuk kesekian kalinya. Kureka ulang di benakku semua hal yang pernah kami lakukan bersama. Betapa bahagianya tawa kami saat melihat orang keliru mana Leyro mana Leroy. Saat-saat kami bertukar masuk kelas hanya karena dia tak ingin mengikuti kelas matematika. Membayangkan betapa seringnya kami bertengkar atas hal kecil, namun juga tak terkalahkan ketika sudah bekerjasama. Kami seakan satu, dan kepergiannya berarti kepergian separuh diriku.

Aku tak akan pernah lupa apa yang kulihat ketika masuk ke ruangan itu. Kembaranku yang sudah tergeletak tanpa degup, Nelda yang tengah panik sambil mengguncangkan badan Leroy, dan Manse yang berdiri mematung. Si keparat Manse. Karyawan baru yang pernah masuk penjara entah berapa kali. “Bukan aku yang melakukannya!” Mau seberapa keras kau memasang wajah tak bersalah, tak akan mengubah tampang penjahatmu itu, Manse. Mendadak aku mengutuk atasanku yang menerima orang macam dia di perusahaan kami. Mengucap sumpah serapah dalam hati. Menyalahkan semuanya. Aku sudah tak suka padanya sejak hari pertama ia masuk kantor.

Nelda melangkah cepat ke tempat sampah kecil yang ada di dekatnya, seperti melihat sesuatu. Ia mengambil sebuah botol bertuliskan ‘Cyanide’ dengan gambar tengkorak yang ada di di tumpukan sampah paling atas, lalu mengangkatnya di depan muka. “Manse... Apakah kau yang...?” Nelda menutup mulut, matanya berkaca-kaca. Manse berusaha membela diri semampunya, namun dengan semua bukti yang aku lihat, rasanya tak masuk akal untuk memercayainya. Hanya ada mereka bertiga saat aku masuk ruangan. Aku tak tahan lagi. Semua kekuatan mengalir di kepalan tanganku dan mendarat di wajah Manse.

/Manse/


Aku meringis menahan nyeri dari pipiku yang membesar dan keunguan. Kuremas rambutku di belakang jeruji besi. Ya, badanku penuh tato, mukaku tampak bengis, dan aku sering melakukan tindak kriminal. Tapi itu dulu, tepatnya lima tahun yang lalu. Tak ada satu tindakan kejahatan pun dariku yang tercatat selama lima tahun terakhir ini. Aku sudah berniat meninggalkan kehidupan yang dulu dan sudah banyak berubah. Lagi pula siapa yang ingin menerima orang jahat di perusahaannya?

Kebingungan melanda pikiranku ketika kulihat apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Niat hati hanya ingin membuat segelas kopi, tapi pemandangan yang ada di hadapan justru bagaikan salah satu adegan film. Ada apa ini? Mengapa Leroy tergeletak tak sadarkan diri? Beberapa detik kemudian, Leyro membuka pintu, melihat Nelda yang mencoba membangunkan Leroy tapi tak ada respon. Ia dekatkan telinganya pada jantung Leroy dan meletakkan jarinya di bawah hidung pria yang tergeletak tersebut. Muka Nelda berubah, kemudian menggeleng pelan.

Entah apa yang menyebabkan kematiannya, yang jelas tak terlihat luka di tubuh bagian luar. Penyebab itu pasti terjadi secara internal di tubuhnya. Leyro langsung menatap tajam ke arahku. Hei, bahkan menyentuh apapun yang ada di ruangan itu aku belum sempat. Ia baru datang beberapa detik lantas memercayai kesimpulan yang diciptakannya tanpa mencoba lebih jauh mengumpulkan bukti-bukti. Mengapa selalu aku yang disalahkan? Apa hanya karena tampangku? Apakah memang seluruh manusia sebegitu mudahnya memercayai sampul luar?

Sudahlah, tak peduli seberapa banyak fakta yang kusampaikan bahwa aku memang tak  bersalah, tapi dengan rekam jejak yang menghantuiku beserta seluruh tato di tubuh ini, aku akan selalu kalah. Semua ini sudah terlalu melelahkan. Aku berhenti membela diri, membiarkan manusia melakukan apa yang mereka inginkan, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada borgol yang rela menjadi sahabatku.

/Nelda/


Kuelus punggung Leyro berkali-kali. Batu nisan itu dipegangnya lama-lama. Orang-orang tak henti-hentinya berdatangan, membuat jalanan kuburan semakin sesak. Aku membawa boks tisu di sampingnya, siap kapan saja ketika Leyro butuh pembendung aliran air matanya yang deras.

Sehari sebelum kematiannya, sesuatu memicuku. Siang itu, aku tengah memakai mesin fotokopi, ketika kemudian... “Nel, saya dulu yang pakai, ya. Buru-buru, nih,” sambar Leroy yang muncul tiba-tiba.

“Oh, barusan naik jabatan jadi boleh nyelak, ya,” jawabku datar.
“Haha, nggak gitu. Tapi kamu sebagai bawahan mungkin bisa patuh sedikit lah,” Leroy mengibaskan tangannya kecil, seperti gestur mengusir.
“Kamu kali tuh, sebagai lulusan Harvard tapi gak pernah diajarin budaya mengantri.”
Weits, enak aja. Jangan asal bicara.”
“Saya cuma bicara berdasarkan apa yang saya lihat.”
“Terserah, saya bisa dengan mudahnya keluarin kamu dari sini kalau kamu nggak tau diri.”

Aku terdiam. Bukan karena takut dipecat. Melainkan sedang memikirkan bagaimana cara membungkam mulutnya. Sebuah ide terlintas di benakku, kemudian membuatku tertawa keras saking bahagianya. Koleksiku akan bertambah tak lama lagi.

Leroy menatapku ngeri. Mungkin karena melihat betapa cepat perubahan ekspresiku dari sedingin kutub utara hingga tiba-tiba panas meledak karena tawa. Pfft, bagiku memainkan ekspresi sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Terlepas itu senada dengan perasaanku atau tidak. Eh, sejak kapan aku punya perasaan?

“Silakan pakai mesin ini. Semoga sisa harimu berbahagia!” Aku yang masih tersenyum lebar mempersilakannya menggunakan mesin fotokopi tersebut dengan kedua tanganku, kemudian berjalan pergi.

Hari itu setelah pulang kerja, aku langsung membeli sebuah botol yang isinya amat penting untuk kelancaran misiku besok, kemudian bergegas pulang. Seperti biasa, ritual sebelum tidur, yaitu aku harus menghitung jumlah koleksiku untuk memastikan semua masih lengkap. Mereka kupajang di dinding kamarku yang kemudian kulapisi lagi dengan tirai. Kubuka tirai tersebut dan ya... Jumlahnya masih 52. Lima puluh dua lidah manusia.

Keesokan paginya

Kusiapkan botol itu dan alat pemotong yang kudesain sendiri. Dua benda inilah yang akan membantu memenuhi kebutuhanku. Pagi ini aku akan datang ke kantor lebih awal dan tak lama lagi, jumlah koleksiku akan mencapai 53. Ah, angka favoritku. Tentunya, Leroy akan membantuku mencapai angka tersebut. Mau tak mau.

Hidup adalah panggung teater, dan hanya pemain ulunglah yang dapat menyetir hati penonton. Dan hari ini, saatnya aku kembali beraksi.

Wednesday, April 18, 2018

Kita Manusia

Kita, manusia
Kita paling sedikit
Membicarakan hal
Yang paling sering kita pikirkan

Kita, manusia
Makhluk paling cerdas, katanya
Namun juga dengan mudahnya
Merampas nyawa selain kaumnya (bahkan juga kaumnya sendiri)

Kita, manusia
Kita suka terlena mengejar bulan
Sampai lupa bahwa para bintang
Tersebar mengelilingi kita

Wednesday, April 11, 2018

Sehari Bersama Dee

Hari itu, beberapa mimpiku seperti terwujud sekaligus. Dalam sehari itu, aku tak hanya bisa bertatap muka, tapi juga mendapat segudang ilmu secara langsung dari penulis favoritku! Ialah Dewi Lestari, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Dee. Kelas menulis tersebut berlangsung selama lima jam. Sebuah mimpi yang tak berani kubayangkan terjadi: untuk bisa menimba ilmu langsung dan dapat satu ruangan bersama penulis favoritku selama itu.

Workshop yang diadakan pada tanggal 1 April 2018 itu merupakan workshop menulis senilai Rp1.000.000 yang diberikan kepada para pemenang yang karyanya telah diseleksi dalam lomba cerpen yang diadakan oleh Storial. Dari 400+ karya yang masuk, hanya 60 yang dipilih. Air mata meledak begitu aku melihat nama dan judul tulisanku terpampang di daftar pemenang. Aku akan selamanya berterima kasih kepada Tuhan karena telah menyusun skenario sehebat ini.

Selama kelas menulis berlangsung, aku benar-benar mengaktifkan otakku agar bisa menyerap setiap kata yang Dee ucapkan. Momen langka, gais! Aku pun masih bisa hafal betul hampir apa saja yang ia ucapkan hari itu. Bahkan kadang di tengah ia berbicara, aku sesekali terhipnotis dengan kata-katanya. Strukturnya sempurna, enak didengar, dan suka menembakku telak! Ini adalah beberapa kalimat/rangkuman favorit darinya yang menurutku jleb banget:


  1. "Kenapa Supernova terbit? Karena itulah satu-satunya novel saya yang SELESAI."
  2. "Ide itu seperti radikal bebas yang bertebaran di mana-mana dan dia mencari pasangan untuk bisa nempel."
  3. "Semua hal bercerita. Kamu hanya perlu mendengar."
  4. "Riset adalah alasan paling seksi untuk menunda menulis."
  5. "Seringlah mencoba. Jam terbang tidak pernah bohong."
  6. "Tulislah buku yang ingin kamu baca. Jadilah penulis yang layak kita kagumi."
  7. "Tidak ada karya sempurna. Yang ada hanyalah karya yang SELESAI dan TIDAK." (haduh, kesindir abis bosss)
  8. "Sainganmu adalah diri kamu sendiri."
  9. "Satu TAMAT akan membawa kita ke banyak awal baru."
  10. "Tujuan ide adalah untuk dijadikan konkret."

sumber: https://blog.storial.co/
Dari kelas menulis bersama Dee, salah satu yang paling ngena buatku adalah tentang pencarian ide. Hal ini merupakan sesuatu yang sering menjadi kendala buatku. Kadang aku suka kesal sendiri jika sudah berusaha keras mencari ide, tapi rasanya usahaku seperti menggapai angin. Aku pun akhirnya mendapatkan jawabannya di workshop ini.

Kata Dee, bukan kita yang mencari ide, tapi ide yang mencari kita. Kita hanya perlu menjadi makhluk yang peka terhadap sekitar dan membukakan pintu agar ide-ide tersebut bisa masuk. "Bayangkan kamu itu seperti wadah yang siap menampung apa saja," ujarnya. Kalimat ini berhasil mengubah pola pikirku.

Ia juga mengatakan bahwa kita tidak perlu pergi jauh seperti ke pantai atau gunung demi mencari ide. Kalau kita dalam 'kondisi menerima', tidak ngotot mencari, akan semakin mudah bagi si ide untuk mendapat akses masuk ke kita. Bahkan Dee bercerita bahwa ide-ide paling briliannya sering menghantam masuk ketika ia melakukan kegiatan sepele sehari-hari, seperti ketika sedang sikat gigi, memasak, atau lagi di kamar mandi (ini juga sama dan bener banget omg).

Ada juga beberapa latihan yang disiapkan Dee untuk para peserta workshop. Salah satunya, sebuah gambar ditampilkan di layar, lalu kami diberi waktu lima menit untuk menuliskan cerita dari gambar tersebut sebebas-bebasnya. Kami disuruh berpikir seliar-liarnya. Setelah selesai, beberapa peserta yang ingin membacakan hasil ceritanya boleh maju ke depan. Mungkin karena hampir semua yang ada di ruangan itu memang sudah cinta menulis, refleks menulis mereka sudah sangat cepat. 

sumber: https://blog.storial.co/
Bayangkan, lima menit loh, guys! Dan semua 'relawan' yang membaca karya singkatnya itu imajinasinya gilaaa, keren-keren banget. Bahkan ada yang nyampe dua paragraf lebih! Aku yang baru dapat satu sampai dua kalimat dalam waktu sesingkat itu cuma bisa melongo sambil tepuk tangan slow motion. Sumpah, semua manusia yang ada dalam ruangan itu jadi menginspirasiku bersamaan. Rasanya mau meledak bunga-bunga.




Di akhir acara, kami diberi kesempatan untuk sesi foto dan tanda tangan. Aaak, salah satu bagian yang paling kutunggu! Aku sempat bercerita sedikit pada Dee tentang mimpiku setelah membaca karya terbarunya, Aroma Karsa. Ia tertawa. Selain di atas novelnya, aku juga meminta tanda tangannya di buku tulis pribadiku, tempat biasa aku menuangkan ide menulis. Kemudian kami sempat mengobrol singkat, berpelukan erat, dan berfoto bersama! Uhuyy! Aku bahagiaaa!

Terima kasih sebesar-besarnya kepada Storial, Path, orangtua, kawan-kawan, dan semuanya yang telah mendoakan, mendukung dan berperan dalam terwujudnya semua ini! Terima kasih juga kepada Ibu Suri Dee Lestari yang telah menjadi sosok yang tak henti-hentinya menginspirasi di kehidupanku dan kehidupan ribuan orang lainnya. You the best!