Wednesday, May 30, 2018

Kubangan Pertanyaan

sumber: Favim.com


Kepada siapa air harus kembali?
Pada dekapan laut tempatnya berpulang,
Atau pada awan yang menjadikannya bebas?

Siapa yang lebih butuh kasih sayang matahari?
Manusia yang menggigil karena cinta,
Atau mereka yang telah dibekukan oleh rasa yang fana?

Siapa yang sebaiknya angin ajak bicara?
Insan yang tengah menikam hati sendiri,
Atau mereka yang dipekakkan oleh rasa sepi?

Siapa yang merengek untuk diselimuti malam?
Orang yang terbutakan oleh surya hasrat semu,
Atau mereka yang lelah terpapar teriknya rindu?


Thursday, May 03, 2018

53 Potongan

/Leyro/


Sebagai laki-laki dewasa, belum pernah tangisanku terasa sepilu ini. Rumah duka semakin ramai didatangi para manusia berpakaian gelap. Orang-orang bergantian memelukku sambil melayarkan kalimat belasungkawa, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semoga saja yang mereka katakan menjadi nyata, karena saat ini goresan batinku terlalu besar untuk bisa pulih kembali.

Kutatap foto pria yang mirip denganku itu untuk kesekian kalinya. Kureka ulang di benakku semua hal yang pernah kami lakukan bersama. Betapa bahagianya tawa kami saat melihat orang keliru mana Leyro mana Leroy. Saat-saat kami bertukar masuk kelas hanya karena dia tak ingin mengikuti kelas matematika. Membayangkan betapa seringnya kami bertengkar atas hal kecil, namun juga tak terkalahkan ketika sudah bekerjasama. Kami seakan satu, dan kepergiannya berarti kepergian separuh diriku.

Aku tak akan pernah lupa apa yang kulihat ketika masuk ke ruangan itu. Kembaranku yang sudah tergeletak tanpa degup, Nelda yang tengah panik sambil mengguncangkan badan Leroy, dan Manse yang berdiri mematung. Si keparat Manse. Karyawan baru yang pernah masuk penjara entah berapa kali. “Bukan aku yang melakukannya!” Mau seberapa keras kau memasang wajah tak bersalah, tak akan mengubah tampang penjahatmu itu, Manse. Mendadak aku mengutuk atasanku yang menerima orang macam dia di perusahaan kami. Mengucap sumpah serapah dalam hati. Menyalahkan semuanya. Aku sudah tak suka padanya sejak hari pertama ia masuk kantor.

Nelda melangkah cepat ke tempat sampah kecil yang ada di dekatnya, seperti melihat sesuatu. Ia mengambil sebuah botol bertuliskan ‘Cyanide’ dengan gambar tengkorak yang ada di di tumpukan sampah paling atas, lalu mengangkatnya di depan muka. “Manse... Apakah kau yang...?” Nelda menutup mulut, matanya berkaca-kaca. Manse berusaha membela diri semampunya, namun dengan semua bukti yang aku lihat, rasanya tak masuk akal untuk memercayainya. Hanya ada mereka bertiga saat aku masuk ruangan. Aku tak tahan lagi. Semua kekuatan mengalir di kepalan tanganku dan mendarat di wajah Manse.

/Manse/


Aku meringis menahan nyeri dari pipiku yang membesar dan keunguan. Kuremas rambutku di belakang jeruji besi. Ya, badanku penuh tato, mukaku tampak bengis, dan aku sering melakukan tindak kriminal. Tapi itu dulu, tepatnya lima tahun yang lalu. Tak ada satu tindakan kejahatan pun dariku yang tercatat selama lima tahun terakhir ini. Aku sudah berniat meninggalkan kehidupan yang dulu dan sudah banyak berubah. Lagi pula siapa yang ingin menerima orang jahat di perusahaannya?

Kebingungan melanda pikiranku ketika kulihat apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Niat hati hanya ingin membuat segelas kopi, tapi pemandangan yang ada di hadapan justru bagaikan salah satu adegan film. Ada apa ini? Mengapa Leroy tergeletak tak sadarkan diri? Beberapa detik kemudian, Leyro membuka pintu, melihat Nelda yang mencoba membangunkan Leroy tapi tak ada respon. Ia dekatkan telinganya pada jantung Leroy dan meletakkan jarinya di bawah hidung pria yang tergeletak tersebut. Muka Nelda berubah, kemudian menggeleng pelan.

Entah apa yang menyebabkan kematiannya, yang jelas tak terlihat luka di tubuh bagian luar. Penyebab itu pasti terjadi secara internal di tubuhnya. Leyro langsung menatap tajam ke arahku. Hei, bahkan menyentuh apapun yang ada di ruangan itu aku belum sempat. Ia baru datang beberapa detik lantas memercayai kesimpulan yang diciptakannya tanpa mencoba lebih jauh mengumpulkan bukti-bukti. Mengapa selalu aku yang disalahkan? Apa hanya karena tampangku? Apakah memang seluruh manusia sebegitu mudahnya memercayai sampul luar?

Sudahlah, tak peduli seberapa banyak fakta yang kusampaikan bahwa aku memang tak  bersalah, tapi dengan rekam jejak yang menghantuiku beserta seluruh tato di tubuh ini, aku akan selalu kalah. Semua ini sudah terlalu melelahkan. Aku berhenti membela diri, membiarkan manusia melakukan apa yang mereka inginkan, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada borgol yang rela menjadi sahabatku.

/Nelda/


Kuelus punggung Leyro berkali-kali. Batu nisan itu dipegangnya lama-lama. Orang-orang tak henti-hentinya berdatangan, membuat jalanan kuburan semakin sesak. Aku membawa boks tisu di sampingnya, siap kapan saja ketika Leyro butuh pembendung aliran air matanya yang deras.

Sehari sebelum kematiannya, sesuatu memicuku. Siang itu, aku tengah memakai mesin fotokopi, ketika kemudian... “Nel, saya dulu yang pakai, ya. Buru-buru, nih,” sambar Leroy yang muncul tiba-tiba.

“Oh, barusan naik jabatan jadi boleh nyelak, ya,” jawabku datar.
“Haha, nggak gitu. Tapi kamu sebagai bawahan mungkin bisa patuh sedikit lah,” Leroy mengibaskan tangannya kecil, seperti gestur mengusir.
“Kamu kali tuh, sebagai lulusan Harvard tapi gak pernah diajarin budaya mengantri.”
Weits, enak aja. Jangan asal bicara.”
“Saya cuma bicara berdasarkan apa yang saya lihat.”
“Terserah, saya bisa dengan mudahnya keluarin kamu dari sini kalau kamu nggak tau diri.”

Aku terdiam. Bukan karena takut dipecat. Melainkan sedang memikirkan bagaimana cara membungkam mulutnya. Sebuah ide terlintas di benakku, kemudian membuatku tertawa keras saking bahagianya. Koleksiku akan bertambah tak lama lagi.

Leroy menatapku ngeri. Mungkin karena melihat betapa cepat perubahan ekspresiku dari sedingin kutub utara hingga tiba-tiba panas meledak karena tawa. Pfft, bagiku memainkan ekspresi sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Terlepas itu senada dengan perasaanku atau tidak. Eh, sejak kapan aku punya perasaan?

“Silakan pakai mesin ini. Semoga sisa harimu berbahagia!” Aku yang masih tersenyum lebar mempersilakannya menggunakan mesin fotokopi tersebut dengan kedua tanganku, kemudian berjalan pergi.

Hari itu setelah pulang kerja, aku langsung membeli sebuah botol yang isinya amat penting untuk kelancaran misiku besok, kemudian bergegas pulang. Seperti biasa, ritual sebelum tidur, yaitu aku harus menghitung jumlah koleksiku untuk memastikan semua masih lengkap. Mereka kupajang di dinding kamarku yang kemudian kulapisi lagi dengan tirai. Kubuka tirai tersebut dan ya... Jumlahnya masih 52. Lima puluh dua lidah manusia.

Keesokan paginya

Kusiapkan botol itu dan alat pemotong yang kudesain sendiri. Dua benda inilah yang akan membantu memenuhi kebutuhanku. Pagi ini aku akan datang ke kantor lebih awal dan tak lama lagi, jumlah koleksiku akan mencapai 53. Ah, angka favoritku. Tentunya, Leroy akan membantuku mencapai angka tersebut. Mau tak mau.

Hidup adalah panggung teater, dan hanya pemain ulunglah yang dapat menyetir hati penonton. Dan hari ini, saatnya aku kembali beraksi.