Jika aku disuruh menyebutkan satu kata untuk menggambarkan manusia modern kebanyakan, kata itu adalah 'berat'. Yap, BERAT. Mungkin kamu sudah bertanya-tanya, "Hah berat? Wat du yu min, sister? Is it rindunya Dilan kepada Milea?" Bukan, bukan. Yuk simak.
Pertama, tubuh. Bukan berat badannya, ya. Banyak manusia modern yang bisa dibilang 'kurus' atau berat badannya biasa-biasa saja, namun mereka kerap merasa tubuhnya berat. Kalau sudah berat, mau ngapa-ngapain rasanya jadi mager, deh *nunjuk diri sendiri*. Nah, salah satu faktor terbesarnya adalah MAKANAN.
Semakin hari, produsen semakin berlomba-lomba menciptakan makanan paling lezat, berusaha menggaet sebanyak mungkin pelanggan, untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya pula. Ketika sudah begini, kembali lagi pada si produsen. Mana yang jadi fokusnya? Apakah menyediakan makanan bergizi untuk konsumen, atau hanya memandang ini bisnis semata?
Banyak produsen yang fokus utamanya adalah meraih keuntungan saja, sehingga faktor sehat atau tidaknya makanan yang mereka produksi tidak digubris lagi. Sing penting enak, akeh sing tuku (Yang penting enak, banyak yang beli). Padahal, jika kita lihat lebih dalam lagi, Tuhan menyediakan makanan di alam dengan segala nutrisinya bukan hanya sebagai 'pengenyang perut', namun juga pelengkap kebutuhan kandungan tubuh. Makanan, sebenarnya, juga bisa berfungsi sebagai obat.
Namun, yang banyak terjadi, makanan diolah menggunakan mesin canggih dan diletakkan pada suhu-suhu ekstrem. Pada proses ini, tak jarang gizi dan vitamin yang terkandung dalam makanan tersebut jadi pecah dan musnah, sehingga kini 'makanan' itu tak lebih dari 'benda padat yang tidak mengandung apa-apa'. Belum selesai di situ, produsen akan menambahkan perisa agar rasanya memikat, pewarna agar visual makanan menarik, dan pengawet agar tahan lama. Tentunya tidak ada yang salah dengan menambah kandungan ini jika memang terbuat dari bahan alami dan baik untuk tubuh.
Tapi nyatanya? Lebih banyak produsen yang 'bodo amat' tentang kandungan tambahan ini dan menggunakan perisa atau pewarna buatan manusia yang gizinya nol besar, bahkan cenderung merusak organ tubuh. Biasanya, makanan yang mengandung bahan artifisial seperti ini tuh 'nyandu' banget. Junk food misalnya. Junk food mengandung sodium yang sangat banyak, yang menyebabkan perut kita kembung dan terasa berat (sumber: https://www.shape.com/healthy-eating/diet-tips/7-surprising-ways-junk-food-makes-you-miserable).
Bahkan makanan ini dicoba sekali aja udah bisa bikin badan kita terasa berat. Gimana yang jadiin ini makanan sehari-hari? (gw banget tuh dulu :')). Sayangnya, banyak yang menganggap makanan perusak ini adalah 'normal', dan yang bergizi adalah 'lebay'. Hikz. (gw banget tuh dulu :'))
Setelah tubuh, korban 'berat' selanjutnya adalah OTAK. Salah satu penyebabnya berupa internet dan sosial media. Bayangkan saja, hampir informasi tentang apa saja bisa kita akses dalam beberapa klik. Siapapun dari belahan dunia manapun juga bebas mengunggah apa saja. Hal ini menyebabkan otak kita kebanjiran arus informasi yang begitu deras. Bagi yang tidak bisa memilah dan memilih, otaknya akan berat diisi muatan tidak penting. Tak heran makin hari semakin banyak remaja yang depresi. Hal-hal buruk kini punya akses lebih mudah ke otak-otak mereka, dan memengaruhinya.
Bersambung...
WHAT GOES AROUND, COMES BACK AROUND
Thursday, February 07, 2019
Thursday, January 17, 2019
Social Anxiety dan Public Speaking
Mungkin tak banyak yang tau dan percaya, Erika yang kalian kenal ini nih, pernah mengidap social anxiety atau ketakutan berlebihan terhadap berinteraksi dengan manusia. Aku nggak didiagnosa langsung sama dokter, sih. Tapi kalau itu bukan social anxiety, aku nggak tau lagi itu apa. Karena gejala-gejalanya memang secara nyata aku alami semua dan memang sudah separah itu. Hingga yang error bukan hanya mental, namun sudah sampai pengaruh ke fisik.
Social anxiety biasanya disebabkan oleh trauma masa lalu. Sebenarnya bukan interaksinya yang kami takutkan. Kami terlalu takut bicara/berbuat salah, dipermalukan, atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari hasil berinteraksi. Apa yang bagi orang adalah hal seremeh 'ngobrol' dengan manusia lainnya, bagiku itu bisa seperti hampir kiamat.
Jantungku akan berdebar, telapak tanganku berkeringat, otakku jadi susah berpikir, bahkan hal ini sempat membuat pencernaanku bermasalah. Ketika dihadapkan situasi harus bertemu banyak orang, aku sulit merasa santai dan rasanya pengen kabur aja. Makanya saat dua tahun pertama homeschooling, aku enggak benar-benar memiliki teman. Social anxiety mengekangku dari berinteraksi.
Tapi alhamdulillah, itu dulu. Dengan proses yang tak sebentar, aku telah belajar bagaimana merasa dan berbuat seperti orang normal ketika bersosialisasi. Lama-lama aku juga sadar, bertemu orang-orang itu penting dan membuka kesempatan bagi kita untuk bertumbuh (karena ini, kini aku jadi bisa kenal dengan beragam orang-orang hebat). Juga, membuat kesalahan itu tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu ditakuti. Dari kesalahan, kita jadi lebih peka dan jadi tau apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Awal tahun 2019 jadi pembuka yang cukup baik bagiku. Tanggal 3 Januari, aku dan adikku mengikuti Holiday Program dari Merry Riana Learning Centre. Selama tujuh hari, kami belajar tentang Public Speaking, Smart Learning, dan Dream Planning.
Jujur ya, ketika tau bahwa akan ada tentang public speaking, walaupun di lubuk hati paling dalam aku ingin bisa menguasainya, tapi aku merasa agak takut karena itu berarti aku harus berbicara depan banyak orang. Salah satu ketakutan terbesarku. Namun daripada kabur dan berlanjut berkubang dalam ketakutan, aku memilih untuk menghadapinya.
Anyway, setelah satu-dua hari kita diajarkan materi, besoknya diadakan showcase. Di showcase itu, para orangtua diundang untuk menonton anak-anak mereka tampil di depan. Jadi total ada 3x showcase. Di hari ketiga, kelima, dan ketujuh.
Social anxiety biasanya disebabkan oleh trauma masa lalu. Sebenarnya bukan interaksinya yang kami takutkan. Kami terlalu takut bicara/berbuat salah, dipermalukan, atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari hasil berinteraksi. Apa yang bagi orang adalah hal seremeh 'ngobrol' dengan manusia lainnya, bagiku itu bisa seperti hampir kiamat.
Jantungku akan berdebar, telapak tanganku berkeringat, otakku jadi susah berpikir, bahkan hal ini sempat membuat pencernaanku bermasalah. Ketika dihadapkan situasi harus bertemu banyak orang, aku sulit merasa santai dan rasanya pengen kabur aja. Makanya saat dua tahun pertama homeschooling, aku enggak benar-benar memiliki teman. Social anxiety mengekangku dari berinteraksi.
Tapi alhamdulillah, itu dulu. Dengan proses yang tak sebentar, aku telah belajar bagaimana merasa dan berbuat seperti orang normal ketika bersosialisasi. Lama-lama aku juga sadar, bertemu orang-orang itu penting dan membuka kesempatan bagi kita untuk bertumbuh (karena ini, kini aku jadi bisa kenal dengan beragam orang-orang hebat). Juga, membuat kesalahan itu tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu ditakuti. Dari kesalahan, kita jadi lebih peka dan jadi tau apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Awal tahun 2019 jadi pembuka yang cukup baik bagiku. Tanggal 3 Januari, aku dan adikku mengikuti Holiday Program dari Merry Riana Learning Centre. Selama tujuh hari, kami belajar tentang Public Speaking, Smart Learning, dan Dream Planning.
Jujur ya, ketika tau bahwa akan ada tentang public speaking, walaupun di lubuk hati paling dalam aku ingin bisa menguasainya, tapi aku merasa agak takut karena itu berarti aku harus berbicara depan banyak orang. Salah satu ketakutan terbesarku. Namun daripada kabur dan berlanjut berkubang dalam ketakutan, aku memilih untuk menghadapinya.
Anyway, setelah satu-dua hari kita diajarkan materi, besoknya diadakan showcase. Di showcase itu, para orangtua diundang untuk menonton anak-anak mereka tampil di depan. Jadi total ada 3x showcase. Di hari ketiga, kelima, dan ketujuh.
Selama hari-hari diberi materi, aku berusaha fokus dan menyerap semaksimal mungkin apa yang diajarkan. Ini ilmu yang berharga, pikirku. Ya kali kusia-siakan.
Singkat cerita, ketika tiba hari pertama showcase, aku deg-degan. Pastinya, wkwk. Namun aku berusaha untuk ketika maju nanti, untuk tetap fokus sama apa yang mau kusampaikan. Sama satu lagi: jadi diriku sendiri. Enggak usah terlalu dibuat-buat atau teralihkan orang. Jadi Erika saja. Sepertinya akan terasa lebih mudah.
Kemudian tiba giliranku. Perutku terasa jatoh tiba-tiba tapi aku buat bahasa tubuhku seperti orang pede saja. Di showcase public speaking ini, aku bercerita tentang three unforgettable moments atau tiga pengalaman tak terlupakan dalam hidupku. Selama berbicara di depan, mataku menyapu seluruh ruangan dan aku merasa berhasil ketika melihat muka orang-orang tampak antusias mendengarku bercerita. Sesekali mereka tertawa. Tidak seperti EbT yang muka-mukanya pada mengantuk (mungkin karena pelajaran kali ya, wkwk). Bahkan ada satu orang yang tampaknya girang sekali mendengar ceritaku, kayak nonton stand up comedy.
Ketika selesai dan ingin duduk ke kursiku kembali, seorang nenek dan wanita menjabat tangan dan menepuk-nepuk tanganku sambil melontarkan pujian dengan sungguh-sungguh. Untuk beberapa saat, aku merasa seperti orang terkenal (jhaaaaaa). Aku tak menyangka akan mendapat apresiasi seperti ini dari orang asing.
Keesokan harinya saat sedang menggambar mind map, seorang anak berumur 8 tahun yang juga peserta, menghampiriku. Setelah melihat gambarku beberapa saat, ia tiba-tiba melontarkan, "I still remember your three unforgettable moments. It's so funny."
Pernyataannya yang jujur dan spontan itu membuatku terkejut. Anak sekecil itu masih ingat ceritaku kemarin dan menganggapnya berkesan. Aku kira, ketika aku public speaking, hanya orang-orang dewasa saja yang menyimak. Namun, hari itu, aku dibuktikan salah. Cerita dan pembawaanku berhasil menerobos rentang umur. Anak kecil hingga nenek-nenek ikut terhibur.
Saat showcase kedua, aku maju lagi dengan topik berbeda. Singkat cerita, ketika semuanya sudah selesai, aku menuruni tangga dan hendak pulang. Di tangga, seorang orangtua murid berlari kecil, menyamai langkahku, dan mengajak ngobrol.
"... Beneran saya suka banget loh cara kamu ngomong... gesturmu... semuanya. Kamu pernah belajar public speaking apa gimana? Emang udah suka ngomong ya?" Tanya bapak itu sambil badannya lurus menghadapku, tangannya memegang dagu, dan matanya berbinar. Seperti baru menemukan artefak canggih dari ribuan tahun lalu.
"Ngg.. Sebenarnya ngomong depan umum itu one of my biggest fears, sih, pak," aku tertawa kecil.
"Really? Tapi kayak udah jago loh tadi. Then how did you do it? Pernah ikut les public speaking di tempat lain, otodidak, atau...?"
Di sini kita udah bicara macam anak jaksel alias campur-campur, tapi syukurnya dia mengerti jadi kulanjutkan saja.
"Gimana ya, saya memang udah suka banget merhatiin the way people speak sampe detil-detilnya. Kayak intonasinya, gestur, their expression, sampe pemilihan katanya,"
"Oh, I see..." ia mengangguk-ngangguk semangat.
"Terus saya kan juga suka nontonin video-video orang terkenal gitu, nah kalo misal ada yang saya suka banget nih cara ngomongnya, saya suka mikir, 'Ih pengen banget bisa kaya gitu juga', dan hal-hal yang saya suka dari mereka itu saya coba apply ke diri saya. Jadi, ya... Banyakan otodidak sih, pak," aku nyengir.
"Oke-oke, otodidak ya..." katanya, masih mengangguk-ngangguk. "Oh iya, siapa namanya?"
Kami saling bertukar nama dan perbincangan beberapa menit itu ditutup dengan berjabat tangan dan sedikit pujian lagi darinya.
Jujur saja, untuk seseorang yang pernah memiliki social anxiety, bisa public speaking dengan baik merupakan salah satu pencapaian terbesarku. Sebelumnya, aku sama sekali tak menyangka akan berhasil menguasai ketakutan-ketakutan terbesarku ini. Bahkan aku sempat agak trauma berbicara depan umum karena tak mau mempermalukan diriku lagi untuk kesekian kalinya.
Namun aku percaya pada rencana-Nya, dan benar, setelah selesai program, aku menemukan sisi lain dari diriku. Rupanya, aku nggak buruk-buruk amat, lah. Ternyata aku bisa. Dari sini, aku kembali semangat dan tak sabar untuk melihat aku dalam versi jauh lebih baik dua tahun lagi.
Aku harap bisa melihat kalian bertumbuh juga. Tidak hanya secara fisik, namun yang lebih penting lagi, secara mental dan kepribadian. Ada satu faktor penting yang membuatku banyak belajar dan bertumbuh. Tau apa? Keluar dari zona nyaman. Seperti menghadapi ketakutanku, misalnya. Tak mudah memang, tapi begitu kembali dari sana, aku jadi orang lebih tangguh dan berbeda karena telah beradaptasi dengan ketakutanku. Pada akhirnya, ada perasaan bangga dan lega ketika aku bisa mengatakan bahwa aku tak takut lagi pada hal-hal tersebut. Kini, mereka jadi temanku.
Semangat berubah jadi lebih mantul, ya, semuanyaaa! See you on top!
Keesokan harinya saat sedang menggambar mind map, seorang anak berumur 8 tahun yang juga peserta, menghampiriku. Setelah melihat gambarku beberapa saat, ia tiba-tiba melontarkan, "I still remember your three unforgettable moments. It's so funny."
Pernyataannya yang jujur dan spontan itu membuatku terkejut. Anak sekecil itu masih ingat ceritaku kemarin dan menganggapnya berkesan. Aku kira, ketika aku public speaking, hanya orang-orang dewasa saja yang menyimak. Namun, hari itu, aku dibuktikan salah. Cerita dan pembawaanku berhasil menerobos rentang umur. Anak kecil hingga nenek-nenek ikut terhibur.
Saat showcase kedua, aku maju lagi dengan topik berbeda. Singkat cerita, ketika semuanya sudah selesai, aku menuruni tangga dan hendak pulang. Di tangga, seorang orangtua murid berlari kecil, menyamai langkahku, dan mengajak ngobrol.
"... Beneran saya suka banget loh cara kamu ngomong... gesturmu... semuanya. Kamu pernah belajar public speaking apa gimana? Emang udah suka ngomong ya?" Tanya bapak itu sambil badannya lurus menghadapku, tangannya memegang dagu, dan matanya berbinar. Seperti baru menemukan artefak canggih dari ribuan tahun lalu.
"Ngg.. Sebenarnya ngomong depan umum itu one of my biggest fears, sih, pak," aku tertawa kecil.
"Really? Tapi kayak udah jago loh tadi. Then how did you do it? Pernah ikut les public speaking di tempat lain, otodidak, atau...?"
Di sini kita udah bicara macam anak jaksel alias campur-campur, tapi syukurnya dia mengerti jadi kulanjutkan saja.
"Gimana ya, saya memang udah suka banget merhatiin the way people speak sampe detil-detilnya. Kayak intonasinya, gestur, their expression, sampe pemilihan katanya,"
"Oh, I see..." ia mengangguk-ngangguk semangat.
"Terus saya kan juga suka nontonin video-video orang terkenal gitu, nah kalo misal ada yang saya suka banget nih cara ngomongnya, saya suka mikir, 'Ih pengen banget bisa kaya gitu juga', dan hal-hal yang saya suka dari mereka itu saya coba apply ke diri saya. Jadi, ya... Banyakan otodidak sih, pak," aku nyengir.
"Oke-oke, otodidak ya..." katanya, masih mengangguk-ngangguk. "Oh iya, siapa namanya?"
Kami saling bertukar nama dan perbincangan beberapa menit itu ditutup dengan berjabat tangan dan sedikit pujian lagi darinya.
Jujur saja, untuk seseorang yang pernah memiliki social anxiety, bisa public speaking dengan baik merupakan salah satu pencapaian terbesarku. Sebelumnya, aku sama sekali tak menyangka akan berhasil menguasai ketakutan-ketakutan terbesarku ini. Bahkan aku sempat agak trauma berbicara depan umum karena tak mau mempermalukan diriku lagi untuk kesekian kalinya.
Namun aku percaya pada rencana-Nya, dan benar, setelah selesai program, aku menemukan sisi lain dari diriku. Rupanya, aku nggak buruk-buruk amat, lah. Ternyata aku bisa. Dari sini, aku kembali semangat dan tak sabar untuk melihat aku dalam versi jauh lebih baik dua tahun lagi.
Aku harap bisa melihat kalian bertumbuh juga. Tidak hanya secara fisik, namun yang lebih penting lagi, secara mental dan kepribadian. Ada satu faktor penting yang membuatku banyak belajar dan bertumbuh. Tau apa? Keluar dari zona nyaman. Seperti menghadapi ketakutanku, misalnya. Tak mudah memang, tapi begitu kembali dari sana, aku jadi orang lebih tangguh dan berbeda karena telah beradaptasi dengan ketakutanku. Pada akhirnya, ada perasaan bangga dan lega ketika aku bisa mengatakan bahwa aku tak takut lagi pada hal-hal tersebut. Kini, mereka jadi temanku.
Semangat berubah jadi lebih mantul, ya, semuanyaaa! See you on top!
Thursday, November 29, 2018
Salah Satu Profesi Terhebat dan Tersulit di Dunia
Tanggal 25 November adalah hari guru. Semakin dewasa, aku semakin banyak bertemu guru. Bagiku sih, siapa saja bisa menjadi guru karena aku percaya, dari setiap manusia ada pelajaran yang bisa diambil. Namun, kali ini aku ingin bicara tentang orang-orang yang memang menjadikan guru sebagai profesinya.
Jujur saja aku telah bertemu berbagai macam guru, dari yang membuatku kagum sampai yang saking buruknya sepertinya memang tak berniat jadi guru. Tapi aku ingin bicara yang golongan pertama saja.
Dari deretan guru yang kukagumi, ada James yang meski dengan muka datarnya selalu bisa membuat kelas jadi sangat menarik dan mengocok perut kami. Dia punya skill berbicara yang sangat bagus dan terstruktur. Ada guru-guru di tempat lesku yang semuanya tidak pernah membawa buku ketika mengajar di kelas karena mereka sudah bagaikan buku itu sendiri. Amat menguasai materi dan bisa menjawab dengan lengkap saat itu juga. Ada pula bu Erni yang selalu membawa kelas dengan santai dan menyenangkan. Dan banyaaakkk lagi sosok pengajar yang menginspirasiku yang jika kusebutkan satu-satu akan menghabiskan belasan halaman.
Mungkin mereka tak menyadarinya, mungkin orang dan murid lain tak menyadarinya, tapi bagiku, apa yang mereka lakukan ini sungguh hebat. Kadang sambil memperhatikan mereka membuatku berpikir, "Ya Allah, aku pengen bisa kayak gitu juga."
Akhirnya suatu hari, aku dan temanku menghampiri Jonathan, seorang konsultan yang kadang menjadi guru ketika diminta dan seorang yang kami sebut 'The walking encyclopedia' atau 'ensiklopedia berjalan'. Bisa dibilang kami berdua ketagihan meminta kelas tambahan dengannya dan diam-diam tergila-gila dengan otaknya. Entahlah, dia memang se-jenius itu.
Oke, jadi kami berdua menghampirinya dan aku bertanya,"Do you have any tips in teaching? Maybe some do's and don'ts." Aku sudah sangat siap mendengar jawaban panjang, namun apa yang dikatakannya begitu singkat namun menohok. "You have to be 10x above your students. At everything." Jleb.
Maksudnya, seorang guru harus 10x lebih menguasai materi dari muridnya dan belajar 10x lebih banyak dari orang yang diajarkannya. Hal ini kusadari begitu benar karena aku melihatnya pada diri semua guru terbaik yang pernah kutemui. Jadi mereka takkan pernah menjawab "nggak tau" ketika ditanya tentang materi yang dibawanya. Paling mentok-mentok hanya lupa sedikit. Namanya juga manusia.
Aku bisa langsung memahami kalimat yang disampaikan Jonathan tadi begitu dalam karena aku juga merasakan pengalaman terjun langsung mengajar. Dan sungguh, meski aku menyukainya, menjadi guru bukanlah hal mudah. Untuk menjadi guru yang baik, kamu harus menguasai materi 10x lebih banyak dari muridmu, merangkai kata-kata agar mudah dipahami, memahami psikologi orang, sekaligus berusaha membuat murid tetap fokus dan tertarik selama kelas berlangsung. Dan aku pernah setidaknya gagal dalam masing-masing hal yang barusan kusebutkan. Ternyata mengajar tidak segampang itu, ya.
Di Finlandia, penyeleksian guru tidak main-main. Standar seorang guru di sana yaitu harus meraih gelar master. Kemudian untuk masuk jurusan pendidikan sekolah dasar saja, hanya satu dari 10 pendaftar yang diterima setiap tahunnya. Sesudah itu pun mereka harus belajar dulu selama 5-6 tahun sebelum diizinkan mengajar secara profesional. Tak heran warganya pada terdidik dengan benar dan bahagia.
Kemudian aku berkaca diri dan jadi mengurangi jumlah kelas EbT karena merasa tak pantas dan terlalu banyak kurangnya. Aku takut terlanjur melakukan kesalahan dan malah membuat temanku jadi benci bahasa Inggris. Atau setidaknya, benci belajar denganku. Hal ini terlihat dari Febby yang selalu menguap di pembukaan EbT dan Maira yang jadi mendadak pendiam seperti sedang dihukum. Entah apakah aku jadi se-membosankan itu ketika mengajar, ataukah ini karma buruk? Apapun itu, berarti ada yang harus kuperbaiki. Aku juga sebenarnya bukan mengajar, aku lebih senang menyebutnya 'berbagi'. Berbagi ilmu.
Aku punya mimpi suatu saat nanti Indonesia punya lebih banyak guru yang berkualitas dan tak ada lagi murid-murid yang tak menghargai gurunya. Karena kunci pendidikan bangsa dimulai dari guru.
Wednesday, October 31, 2018
Gara-gara Homeschooling
Jumat lalu, saat pelajaran Ekonomi di tempat lesku, murid-murid disuruh maju satu persatu dan mengerjakan soal di papan tulis. Aku, anak homeschooling yang termasuk baru di situ dan belum pernah belajar pelajaran yang berbau akuntansi, juga disuruh maju. Bu guru tau tentang ini dan memilihkanku soal yang paling gampang. Sebelum maju, aku sih sudah mulai paham tentang cara mengerjakannya. Tapi ada beberapa hal yang masih aku bingung, termasuk menulis bentuk jawabannya.
"Ini tulis angka yang ini bu?" tanyaku sambil menunjuk ke kertas soal.
"Iya ya udah tulis bentuk AJP-nya dari catatan Rena yang kamu liat tadi," jawabnya. Astaga, apa pula itu AJP. Saat itu kepercayaan diriku mulai menurun dan intonasi bicara bu guru terdengar ada sedikit rasa kesal. Rasa-rasanya jika aku bertanya apa itu AJP, hanya akan membuatnya tepok jidat dan mempermalukan diriku sendiri di depan kelas. Pertanyaan itu pun kusimpan sendiri.
"Kaya gini bu?"
"Ih bukan, itu loh kan ada di catatan tadii, tulis dulu bebannya, baru kamu tulis jumlahnya di sampingnya."
"Oh, ng... Berarti bener dong... Eh.."
"Itu kan kamu cuma nulis pengeluaran, bukan beban pengeluaran!"
Oke. Detik itu membuatku sukses merasa seperti orang terbodoh sedunia. Bu guru lanjut menjelaskan beberapa hal lagi ke aku, kemudian pandangannya beralih ke seisi kelas. Ia mulai berkata, "Anak-anak homeschooling tuh udah pasti lulus, dapet ijazah. Itu sih udah pasti. Tapi jangan tanya keilmuannya."
Jleb.
Setiap ia berbicara padaku, ekspresinya menggambarkan dengan jelas bahwa ia sedang berbicara dengan orang yang tak tau apa-apa. Ya walaupun memang benar, sih, aku saat itu masih nol dalam pelajaran Ekonomi. Kurasa seisi kelas yang hanya berisikan lima orang itu menangkap pancaran yang sama darinya.
"Ibu bukan maksud merendahkan ya," lanjutnya, seakan menjawab suara hatiku. "tapi emang gitu kenyataannya." Ok. Wow. Setengah hati ingin menyangkal dan memberontak, tapi sisa hati tau perkataan beliau ada benarnya. Aku pun berusaha untuk tenang dan menjernihkan pikiran, membiarkannya berbicara panjang lebar tentang apa yang ia tau tentang homeschooling.
Setidaknya, aku jadi tau bagaimana pandangan orang berbeda-beda tentang homeschooling. Dan dari semua itu, terkadang mereka tak sepenuhnya benar namun juga tak sepenuhnya salah. Bu guru bercerita bagaimana ia merasa kasihan terhadap para murid homeschooling karena mereka lebih banyak di rumah daripada berinteraksi dengan orang-orang. Bagaimana ia tak terlalu suka dengan cara belajar menggunakan website pelajaran dan gurunya hanya sebatas video. Bagaimana ia menganggap bahwa yang wajar homeschooling itu para artis karena mereka sibuk.
Dari apa yang keluar dari mulutnya, tampaknya belum begitu banyak citra baik homeschooling. Meskipun apa yang dikatakannya tak sepenuhnya salah, ya. Namun izinkan aku bersuara mengenai homeschooling dari sudut pandangku. Aku paham saat bu guru bilang bahwa ia merasa kasihan pada anak-anak homeschooling karena banyak dari mereka yang terlalu banyak di rumah daripada berinteraksi dengan orang dan tak bisa belajar dengan cara bertatap muka dengan guru secara langsung. Dalam hal ini, jujur saja aku tak menyangkal karena aku pun juga sempat merasakannya.
Jujur saja, awal masuk homeschooling, aku sama sekali tidak punya teman ataupun tujuan. Waktu luangku terlampau banyak, tapi karena dilakukan untuk hal-hal yang tak terlalu jelas, lama-lama aku merana juga. Kosong. Membosankan dan tidak enak. Saat itu, setiap bangun tidur yang kurasakan adalah hampa karena aku tau sampai waktu tidur lagi tiba nanti malam, aku hanya akan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti internetan sepanjang hari.
Hal ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya aku menciptakan tujuan. Dalam hal ini, apa yang dikatakan bu guru tadi betul. Bahwa anak homeschooling jadi terkesan 'kasihan'. Namun apa yang membuat perkataan itu terasa benar? Kurasa, jawabannya adalah, kehidupan anak-anak homeschooling baru akan terasa menyedihkan jika mereka tak memiliki tujuan yang jelas. Karena saat kita tak memiliki tujuan, biasanya kita hanya akan melakukan hal yang sebatas 'mengusir kebosanan' saja, bukan? Kita tak memikirkan hal yang sedang kita lakukan ini bakal membentuk kita jadi pribadi seperti apa esok lusa. Alhasil, kita jadi hanya melakukan hal jangka pendek, dan jika ini terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama, bisa berdampak buruk dan hidup kita akan seterusnya begitu-begitu saja entah sampai kapan. Inilah yang banyak terjadi pada anak-anak homeschooling yang bu guru bilang 'kasihan'. Tapi bukankah hal ini berlaku bukan cuma untuk anak homeschooling saja, tapi juga seluruh umat manusia?
Berdasarkan pengalaman dan analisisku (eaa), kehidupan seseorang baru akan terasa kosong dan menyedihkan jika ia TAK PUNYA TUJUAN dan hanya melakukan aktivitas yang kurang BERMAKNA. Sebaliknya, jika seseorang PUNYA TARGET tentunya ia akan melakukan hal apa saja agar targetnya tercapai. Dan ketika berhasil, ia akan merasakan nikmatnya sebuah pencapaian dan ini akan menjadi bensin untuk mengantarkannya ke pencapaian selanjutnya. Dan hal ini, bisa dibilang, dapat membuat hidup seseorang terasa BERMAKNA.
Bagiku pribadi, homeschooling telah memberikan banyak kesempatan dan pelajaran berharga yang belum pernah kudapat di sekolah biasa.
"Ini tulis angka yang ini bu?" tanyaku sambil menunjuk ke kertas soal.
"Iya ya udah tulis bentuk AJP-nya dari catatan Rena yang kamu liat tadi," jawabnya. Astaga, apa pula itu AJP. Saat itu kepercayaan diriku mulai menurun dan intonasi bicara bu guru terdengar ada sedikit rasa kesal. Rasa-rasanya jika aku bertanya apa itu AJP, hanya akan membuatnya tepok jidat dan mempermalukan diriku sendiri di depan kelas. Pertanyaan itu pun kusimpan sendiri.
"Kaya gini bu?"
"Ih bukan, itu loh kan ada di catatan tadii, tulis dulu bebannya, baru kamu tulis jumlahnya di sampingnya."
"Oh, ng... Berarti bener dong... Eh.."
"Itu kan kamu cuma nulis pengeluaran, bukan beban pengeluaran!"
Oke. Detik itu membuatku sukses merasa seperti orang terbodoh sedunia. Bu guru lanjut menjelaskan beberapa hal lagi ke aku, kemudian pandangannya beralih ke seisi kelas. Ia mulai berkata, "Anak-anak homeschooling tuh udah pasti lulus, dapet ijazah. Itu sih udah pasti. Tapi jangan tanya keilmuannya."
Jleb.
Setiap ia berbicara padaku, ekspresinya menggambarkan dengan jelas bahwa ia sedang berbicara dengan orang yang tak tau apa-apa. Ya walaupun memang benar, sih, aku saat itu masih nol dalam pelajaran Ekonomi. Kurasa seisi kelas yang hanya berisikan lima orang itu menangkap pancaran yang sama darinya.
"Ibu bukan maksud merendahkan ya," lanjutnya, seakan menjawab suara hatiku. "tapi emang gitu kenyataannya." Ok. Wow. Setengah hati ingin menyangkal dan memberontak, tapi sisa hati tau perkataan beliau ada benarnya. Aku pun berusaha untuk tenang dan menjernihkan pikiran, membiarkannya berbicara panjang lebar tentang apa yang ia tau tentang homeschooling.
Setidaknya, aku jadi tau bagaimana pandangan orang berbeda-beda tentang homeschooling. Dan dari semua itu, terkadang mereka tak sepenuhnya benar namun juga tak sepenuhnya salah. Bu guru bercerita bagaimana ia merasa kasihan terhadap para murid homeschooling karena mereka lebih banyak di rumah daripada berinteraksi dengan orang-orang. Bagaimana ia tak terlalu suka dengan cara belajar menggunakan website pelajaran dan gurunya hanya sebatas video. Bagaimana ia menganggap bahwa yang wajar homeschooling itu para artis karena mereka sibuk.
Dari apa yang keluar dari mulutnya, tampaknya belum begitu banyak citra baik homeschooling. Meskipun apa yang dikatakannya tak sepenuhnya salah, ya. Namun izinkan aku bersuara mengenai homeschooling dari sudut pandangku. Aku paham saat bu guru bilang bahwa ia merasa kasihan pada anak-anak homeschooling karena banyak dari mereka yang terlalu banyak di rumah daripada berinteraksi dengan orang dan tak bisa belajar dengan cara bertatap muka dengan guru secara langsung. Dalam hal ini, jujur saja aku tak menyangkal karena aku pun juga sempat merasakannya.
Jujur saja, awal masuk homeschooling, aku sama sekali tidak punya teman ataupun tujuan. Waktu luangku terlampau banyak, tapi karena dilakukan untuk hal-hal yang tak terlalu jelas, lama-lama aku merana juga. Kosong. Membosankan dan tidak enak. Saat itu, setiap bangun tidur yang kurasakan adalah hampa karena aku tau sampai waktu tidur lagi tiba nanti malam, aku hanya akan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti internetan sepanjang hari.
Hal ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya aku menciptakan tujuan. Dalam hal ini, apa yang dikatakan bu guru tadi betul. Bahwa anak homeschooling jadi terkesan 'kasihan'. Namun apa yang membuat perkataan itu terasa benar? Kurasa, jawabannya adalah, kehidupan anak-anak homeschooling baru akan terasa menyedihkan jika mereka tak memiliki tujuan yang jelas. Karena saat kita tak memiliki tujuan, biasanya kita hanya akan melakukan hal yang sebatas 'mengusir kebosanan' saja, bukan? Kita tak memikirkan hal yang sedang kita lakukan ini bakal membentuk kita jadi pribadi seperti apa esok lusa. Alhasil, kita jadi hanya melakukan hal jangka pendek, dan jika ini terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama, bisa berdampak buruk dan hidup kita akan seterusnya begitu-begitu saja entah sampai kapan. Inilah yang banyak terjadi pada anak-anak homeschooling yang bu guru bilang 'kasihan'. Tapi bukankah hal ini berlaku bukan cuma untuk anak homeschooling saja, tapi juga seluruh umat manusia?
Kalau menanggapi si ibu guru sih, aku hanya ingin memperjelas, bahwa sebenarnya, homeschooling bisa menjadi sangat beragam. Semua
tergantung pada orangtua yang berperan sebagai kepala sekolah, dan yang
terpenting, tergantung apa yang ingin si anak cari. Contohnya, Andri Rizki
Putra, dulunya adalah anak yang putus sekolah, namun ia tak pernah putus belajar.
Kini, ia kuliah di Amerika dan telah membangun YPAB (Yayasan Pemimpin Anak
Bangsa), yaitu rumah belajar gratis yang menekankan kejujuran.
Tapi di sisi
lain, tak sedikit pula anak-anak homeschooling yang belum memiliki tujuan yang pasti,
sehingga waktu berlimpah yang mereka punya dipakai untuk mencari kesenangan
sesaat saja. Belum lagi sekarang adalah zamannya elektronik, jadi sangat mungkin untuk seorang anak mengurung diri di kamar sambil bermain game atau internetan sepanjang hari (seperti aku dulu, uhuk). Lagi-lagi,
bagus atau tidaknya kualitas homeschooling tergantung pada apa yang dilakukan
si anak (menurutku).
Homeschooling bisa membantu seseorang terbang jauh lebih
cepat merealisasikan mimpi-mimpinya, atau membuat yang tak punya tujuan semakin
terpuruk. Karena saking bebasnya, satu-satunya yang harus dilawan seorang
homeschooler adalah dirinya sendiri. Dan itu yang tersulit. Namun sekalinya berhasil, ia pasti juga tak akan menyangka dengan potensi diri yang dimiliki. Pasti bakal ngerasa, "Astaga, ternyata gue bisa ngelakuin hal sehebat ini."
Berdasarkan pengalaman dan analisisku (eaa), kehidupan seseorang baru akan terasa kosong dan menyedihkan jika ia TAK PUNYA TUJUAN dan hanya melakukan aktivitas yang kurang BERMAKNA. Sebaliknya, jika seseorang PUNYA TARGET tentunya ia akan melakukan hal apa saja agar targetnya tercapai. Dan ketika berhasil, ia akan merasakan nikmatnya sebuah pencapaian dan ini akan menjadi bensin untuk mengantarkannya ke pencapaian selanjutnya. Dan hal ini, bisa dibilang, dapat membuat hidup seseorang terasa BERMAKNA.
Bagiku pribadi, homeschooling telah memberikan banyak kesempatan dan pelajaran berharga yang belum pernah kudapat di sekolah biasa.
Gara-gara homeschooling, aku jadi lebih banyak
berkontemplasi dan punya waktu untuk menggali diriku sendiri. Aku jadi banyak
belajar tentang makna hidup dan tentang pendidikan sebenarnya. Gara-gara
homeschooling, aku bisa lebih menyaring orang-orang mana saja yang kuingin dan tak kuingin ada di sekitarku.
Gara-gara
homeschooling, aku akhirnya bisa menemukan makna dari apa saja yang kulakukan,
dan bisa memilih untuk tidak melakukan hal yang kurasa tak begitu penting untukku.
Aku jadi bisa punya kendali lebih atas hidupku dan menentukan hal-hal
apa saja yang patut dijadikan prioritas.
Gara-gara homeschooling, aku bisa menikmati tempat-tempat yang
aku mau saat orang lain ada jadwal sekolah atau kerja, hehe. Aku bebas
mengendalikan kebebasanku. Aku juga akhirnya telah menemukan cara belajarku sendiri.
Dan yang terpenting, gara-gara homeschooling, aku
telah menemukan alasan-alasanku untuk tetap belajar sampai mati, meski disuruh
atau tidak.
Kau boleh berbeda pendapat, tapi gara-gara homeschooling, aku
menemukan kebahagiaan sejati.
Ini di luar ekspektasiku, tapi aku, yang dulu sempat merasa malu jadi anak homeschooling, kini justru menemukan makna hidup lewatnya. Sesuatu yang selama ini kucari.
Bagiku, homeschooling
memberi para pelajarnya ruang bernapas untuk merayakan perbedaan dan keunikan
masing-masing. Sesuatu yang tak bisa kutemukan saat duduk di sekolah formal. Sebenarnya homeschooling dan sekolah formal memiliki keuntungan dan kekurangan masing-masing. Jadi mau kamu homeschooler atau sekolah formal, seorang pelajar atau pengangguran, manusia atau bukan, pesan yang mau kusampaikan sih satu: Temukan tujuanmu hidup di dunia ini. Dah gitu aja, dadah! Semoga berhasil!
Wednesday, October 24, 2018
Bumi, Maafkan Kami
Sumber: clker.com |
Berbagai bencana kian terjun bebas.
Entah karena hari akhir semakin dekat,
Atau marahnya Tuhan pada yang berbuat jahat.
Yang kutau pasti, bumi semakin tua.
Bumi, maafkan kami yang tak pandai merawatmu.
Kau adalah sumber dari apa-apa yang kami butuhkan.
Kau beri kami air, makanan, dan sumber segala yang sehat.
Kau selalu menyuguhkan yang terbaik.
Lantas apa balasan kami?
Dengan merusak, mengotori, dan meracunimu.
Kami tebang seluruh kayu megahmu hingga yang tinggal di sana tak lagi punya rumah.
Kami penuhi lautmu dengan sesaknya benda-benda ciptaan kami, hingga yang di dalamnya mati sakit menelan semua itu.
Kami renggut semua yang tumbuh dari tanahmu, dan nyawa-nyawa yang bersemayam di atasnya.
Bumiku, maafkan kami, para predator terganas yang pernah ada.
Meski rasa-rasanya mustahil untuk bisa memaafkan perbuatan biadab yang kami buat.
Bumiku, jika kau marah, beri dulu kami tanda-tanda,
dan kirimkan yang tak selamat agar sampai ke surga.
Thursday, October 18, 2018
A Magical Light
Sumber: tumblr.com |
Ini!
Kukirimkan segenggam cahaya
bagi yang kerap lelah karena harus memakai topeng 'baik-baik saja'
Yang sudah menenggak air keras bermerek Hidup
Yang dianggap 'terlalu aneh' untuk bisa menyatu dengan yang lain
Yang tengah disapa bencana alam
maupun bencana perasaan
Yang lupa kapan terakhir kali merasakan damai
Yang baru saja disambut kehilangan
Yang sedang ditusuk sepi
—dan yang menikmatinya
Yang sedang berperang dengan waktu,
hidup,
atau
diri sendiri
Thursday, October 11, 2018
Mati di Rumah Sendiri
Sumber: www.nrdc.org |
Kami makhluk perairan yang perlahan kalian singkirkan.
Rumah kami tak lagi ramah, sumpah!
Kini hanyalah ruangnya sampah
yang tiap detik semakin melimpah.
Warna laut kini telah larut.
Sang biru mulai berganti warna baru,
warna keruh yang melahap dengan kecepatan penuh.
Bagi kami, lautan adalah satu-satunya rumah
sekaligus tempat menjelajah
namun malah kalau jajah.
Satu-satunya tempat berlabuh,
namun yang ada, kami malah terbunuh.
Tempat kami dulu merasa bebas kini berubah ganas.
Kehidupan yang pernah teduh kalian buat gaduh.
Hei, biarlah kami hidup tenang.
Mengapa selalu kau ajak perang?
Subscribe to:
Posts (Atom)