Wednesday, July 25, 2018

Obat Untuk Yang Tak Berwujud



sumber: http://deviantart.com/


Sebagai seseorang yang dari kecil sadar bahwa aku telah merasakan banyak hal, ‘emosi’ dan ‘kesehatan mental’ menjadi salah satu hal yang menarik perhatianku. Akhir-akhir ini, aku sedang ketagihan mempelajari tentang self-healing atau cara menyembuhkan diri sendiri.

Pertama kali aku tahu istilah self-healing yaitu lewat channel YouTube Reza Gunawan, seorang praktisi kesehatan. Sekitar seminggu yang lalu ia mulai mengunggah video-video tentang kesehatan mental dan self-healing di IG TV miliknya, @rezagunawan. Akhirnyaaa! Sesuatu yang kutunggu-tunggu akhirnya terjadi juga. Aku tahu tentang Mas Reza karena ia adalah suami Dee Lestari, penulis favoritku. He he he. Bagiku, merekalah definisi relationship goals karena hubungan yang mereka miliki merupakan hubungan yang sehat, jujur, dan realistis. Ah, sebuah hal yang langka ditemukan.

Oke balik ke topik. Satu hal yang kusadari, kesehatan mental merupakan hal yang amat krusial, namun belum banyak orang yang menyadarinya. Terlebih di Indonesia. Di sini, tak jarang jika seseorang menampakkan emosinya yang kurang baik bakal dikatakan baper, kurang bersyukur, dan sebagainya. Namun kabar baiknya, makin ke sini aku semakin melihat bahwa tambah banyak orang mulai sadar betapa pentingnya peran kesehatan psikis dan mulai berani membicarakannya kepada audiens yang lebih luas.

Di bawah ini merupakan poin-poin penting yang kudapat setelah menyimak video-video di IG TV Mas Reza.


1. Emosi bagai cuaca; tak bisa diprediksi


Sama seperti cuaca, kita tak bisa tahu pasti kapan emosi tertentu akan datang. Yang kita mesti tahu pasti, mereka sama-sama selalu berubah. Tak pernah kekal. Kita tak perlu takut dengan emosi, sama seperti kita tak perlu takut akan cuaca mendung atau hujan. Salah satu metode yang salah namun sudah umum yaitu ‘kendalikan emosi’.

Emm... Tapi sebenarnya, kawan, emosi merupakan hal natural yang tidak bisa dikendalikan. Jika kita bisa mengendalikan emosi, tentu seluruh manusia akan merasa baik-baik saja. Namun meskipun emosi tak dapat dikendalikan, tapi perkataan dan perbuatan bisa kita kendalikan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama. Yang perlu kita pahami bahwa emosi adalah cuaca jiwa; ia akan datang dan pergi.


2. Positive thinking bisa berdampak negatif


Terdengar seperti paradoks, ya? Lucu memang. Ini merupakan salah satu hal salah kaprah yang sangat umum. Seringkali kita mendengar orang-orang memberi saran seperti, “Cobalah berpikir positif,” ketika ada orang yang sedang sedih atau mengalami emosi negatif lainnya. Bahkan mungkin kita juga pernah mencoba berpikir positif ketika suasana hati sedang tidak nyaman. Niat seperti itu baik, tentu. Tapi apakah cara ini efektif dipakai ketika batin kita sedang terpuruk? Kurasa tidak.

Berdasarkan pengalamanku, berpikir positif memang membantu menekan emosi negatif untuk jangka pendek. Ya, untuk jangka pendek. Namun itu dia, ia hanya menekan emosi tersebut kembali ke dalam diri. Efek jangka panjangnya, mencoba berpikir positif bisa membuat batin semakin terpuruk jika dilakukan dalam kondisi diri sedang tidak baik. Kalau kata Mas Reza, ketika jiwa kita sedang mengalami emosi negatif, emosi tersebut harus dinetralkan dahulu, baru bisa lebih lancar jika ingin berpikir positif. Bukankah memaksa cuaca untuk terang saat sedang hujan merupakan hal yang melelahkan dan sia-sia?

Sedikit curhat, sekitar setahun lalu, aku selalu mencoba untuk berpikir positif setiap kali ada hal yang membuatku merasa tidak nyaman. Namun melakukan ini selalu terasa seperti terus-terusan menangkis dan menolak merasakan emosi tersebut. Lama-kelamaan, tak henti-hentinya menangkis membuat batinku terasa lelah. Sampai suatu ketika, aku memutuskan untuk berhenti menangkis. Capek, cuy. Akhirnya kutatap mata si emosi negatif ini dan membiarkannya menghantamku sampai ia lelah dan pergi sendiri.

Hasil dari melakukan hal ini lumayan mengejutkanku. Sama seperti yang dikatakan Mas Reza, emosi negatif ibarat pengamen yang suaranya gak enak didengar tapi ngotot mau tampil di panggung. Jadi dari pada tambah ngamuk, kasih aja panggung kecil, biarkan tampil di situ. Nanti kalau udah capek nyanyi juga turun sendiri.

Begitu kira-kira gambaran emosi negatif. Ternyata, seperti yang telah kualami, mempersilakannya masuk membuatnya jauh lebih cepat surut. Namun yang perlu diingat, membiarkan diri untuk merasakan emosi negatif bukan berarti sepenuhnya pasrah dan memilih berlarut-larut dalam kenegatifan tersebut. Kitalah yang mengambil jalan untuk mengobati luka batin itu agar posisi jiwa kita kembali netral. Setelah itu, barulah akan jauh lebih mudah dan efektif untuk berpikir positif.


3. KRAI (Kenali, Rasakan, Akui, Izinkan)


Menurutku ini merupakan jurus jitu mengatasi emosi negatif yang Mas Reza sebut KRAI (Kenali, Rasakan, Akui, Izinkan). Tahap pertama yang harus dilakukan: Kenali. Ketika kita tahu ada emosi negatif yang sedang datang, kenali dulu jenis emosi tersebut. Apakah itu rasa takut? Kecewa? Cemburu? Sedih? Kita harus tahu persis nama emosi apa yang sedang bertamu.

Jika sudah kenalan dengan emosi tersebut, selanjutnya: Rasakan. Coba perhatikan rasa apa yang timbul dari emosi tersebut. Apakah membuat hati terasa tersayat, ingin meledak, atau membuat kepala pusing? Apa emosi tersebut membuatmu merasa tenggelam, hancur berkeping-keping, atau membuat dada sesak? Identifikasi rasa tersebut sedetail mungkin.

Langkah selanjutnya Akui. Kalau kita akui bahwa kita sedang takut, gundah, atau semacamnya, secara sosial ini dianggap sebagai kelemahan. Namun jika kita akui pada diri sendiri, seperti, “Oh, saat ini aku benar-benar marah,” atau “Oke, aku sedang merasa kecewa,” ombak perasaan itu akan naik, berputar-putar dalam diri kita, kemudian menjadi netral dengan sendirinya. 

Tahap yang paling penting, Izinkan. Izinkan dirimu untuk merasakan rasa apa saja yang datang. Tak usah dilebih-lebihkan, tak usah disangkal. Cukup menerima. Dan ketika episode emosi itu sudah selesai, jiwamu akan lebih mudah untuk balik merasa netral seperti terlahir kembali. Damai. Sekali lagi berhasil melewati badai. 



Satu lagi yang tak kalah esensial, melabeli emosi yang sedang kita rasakan dapat mengurangi kadar keganasan emosi tersebut. Dengan begitu, si emosi yang sedang mampir akan lebih mudah untuk dikendalikan dan membuat kita sadar, bahwa hey, jangan-jangan ia tak semengerikan yang kita kira.

Setiap orang mempunyai perjalanan jiwanya sendiri, dan memperbaiki mental yang tak berwujud ini, kurasa adalah keterampilan yang harus terus kita asah sampai mati. Ia menentukan nasib, kebahagiaan hidup seseorang, dan bisa menjadi pengaruh kuat terhadap sekitarnya.

Semoga kau menangkap cahaya dari tulisanku sebagaimana aku telah punya cahaya baru dari ilmu yang satu ini. Selamat mempraktekkan KRAI!

No comments:

Post a Comment